Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Kamis, 20 Januari 2011

IMPLEMENTASI ERROR ANALYSIS DALAM MEMPERLAKUKAN TULISAN BAHASA INGGRIS PEMBELAJAR SMP


Tutut Guntari
Pendahuluan
Analisis Kesalahan (Error Analysis) dalam pembelajaran bahasa kedua (second language acquisition, SLA) dipopulerkan tahun 1970an oleh S.P. Corder dan kawan-kawan. Analisis Kesalahan ini merupakan alternatif bagi Analisis Kontrantif (Contrastive Analysis Hypothesis), pendekatan berjiwa behaviorisme lewat mana para linguis terapan (seperti Fries,   Lado, Banathy, Trager, Waddle, Martin, Prator, dan lain-lain) menggunakan pembedaan formal antara bahasa ibu (L1) dan bahasa sasaran (L2) untuk menemukan kesilapan atau kesalahan pembelajar—sehingga dapat memprediksi kesulitan pembelajar dalam belajar bahasa.
Analisis Kesalahan menunjukkan bahwa analisis kontrastif gagal memprediksi sebagian besar kesalahan pembelajar meskipun aspek-aspek penting telah dikaitkan dengan kajian ‘transfer bahasa’ (language transfer). Temuan kunci dari Analisis Kesalahan adalah, banyak kesalahan pembelajar diproduksi para pembelajar dengan melakukan inferensi keliru tentang kaidah-kaidah bahasa baru yang dipelajari. Selain itu, Analisis Kesalahan membedakan “kesilapan” (error) yang sistematik, dan “kesalahan” (mistakes) yang tidak sistematik. Error muncul karena pembelajar tidak/belum tahu kaidah-kaidah bahasa sasaran, sedang mistake terjadi karena pembelajar sejatinya sudah tahu kaidah-kaidah namun terjadi slip pikiran atau slip lidah saat menunjukkan performasi komunukatifnya.

Sama dengan Analisis Kontrastif, fokus kajian Analisis Kesalahan juga pada bahasa pembelajar yang belum sempurna, yang oleh Selinker (1972) disebut interlanguage, yang mengacu ke keterpisahan sistem belajar bahasa kedua. (Istilah ini juga digunakan Richards 1974, dan Ellis 1997.) Sementara itu, dengan menekankan adanya aproksimasi ke bahasa sasaran, Nemser (1971), menamakannya approximative system. Dengan menunjuk keunikan bahasa individu, Corder (1971) menyebutnya idiosyncratic dialect. Yakni, ragam bahasa unik atau khas dimiliki individu pembelajar bahasa. Dan pada 1990-an, istilah tersebut oleh C. James (1991) dan Lightbown & Spada (1993) dipopulerkan dengan ‘bahasa pembelajar’ (learner language).

Apapun istilah yang digunakan, kesalahan (belajar bahasa) pembelajar dipentingkan ketika dikaitkan dengan pembelajaran L2. Dengan mengetahui profil kesalahan pembelajar, guru bahasa akan mampu menganalisisnya secara komprehensif dan menentukan strategi apa yang tepat untuk membantu pembelajar memperbaiki kesalahan bahasanya (Brown, 2000). Ibaratnya, belajar renang, main tenis, menulis, atau membaca melibatkan suatu proses dimana keberhasilan dicapai dengan memanfatkan berbagai kesalahan, dengan menggunakan kesalahan untuk memetik feedback dari lingkungan, dan dengan feedback itu mencoba upaya-upaya baru yang secara suksesif mendekati tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Suatu kesilapan (error) merupakan cerminan atau refleksi kompetensi yang dimiliki oleh seorang pembelajar bahasa. Guru berperan penting dalam proses ini.

Mengingat Analisis Kesalahan banyak memperhatikan bentuk (form) bahasa pembelajar, ia mengkaji bahasa pembelajar berdasarkan tipe dasarnya: penghilangan (ommisive), penambahan (additive), penggantian (substitutive), atau susunan kata (word order). Menurut konteks, ia juga memilah overt error dengan covert error. Menurut level bahasa, ia memilahnya menjadi kesilapan fonologis, leksikal, sintaksis, dan sebagainya. Dan terkait dengan komunikasi, ada kesilapan global (global error) yang menyebabkan ujaran sulit dipahami, dan kesilapan lokal (local error) yang tak mengganggu komunikasi (Brown 2000).

Sementara itu, dalam pembelajaran bahasa asing di Indonesia, termasuk bahasa Inggris, kesilapan demi kesilapan bahasa tak sulit ditemukan di kalangan pembelajar bahasa. Kendati berbagai pendekatan pembelajaran bahasa telah diterapkan di negeri ini, agaknya kesilapan bahasa pembelajar tetap akan ditemukan. Betapapun canggihnya suatu pendekatan, kesilapan bahasa pasti melekat dalam bahasa pembelajar, karena setiap pembelajar pasti memiliki “bahasa pembelajar” (language learner) masing-masing yang khas. Sepanjang pembelajar bahasa Inggris belum menguasai bahasa itu dengan sempurna, ia pastilah memiliki kesilapan atau kesalahan bahasa, terutama dalam ketrampilan produktifnya: menulis dan wicara.

Tulisan ini akan mencoba mengkaji penerapan Analisis Kesalahan dalam memberikan perlakuan kesilapan (error treatment) terhadap tulisan pembelajar sekolah menengah (SMP) kelas IX. Dalam hal ini pembelajar diminta menulis sebuah tulisan dengan topik perkenalan diri (My Self). Topik ini dipilih dengan pertimbangan keterdekatannya dengan pembelajar, sehingga mereka tahu benar apa yang ditulis dan merasa nyaman untuk mengungkapkannya. Untuk kepentingan kajian ini, hanya akan ditampilan satu sampel tulisan dari topik yang diberikan. Serangkaian analisis diarahkan untuk memberikan perlakuan kesilapan terhadap pembelajar yang telah menulisnya dan diabstrksikan untuk pembelajaran klasikal di dalam kelas.

Memahami Model Perlakuan Kesilapan Bahasa
Ketrampilan menulis (writing) merupakan salah satu empat ketrampilan bahasa yang harus dialami oleh pembelajar bahasa, termasuk pembelajar SMP tempat penulis mengabdi sebagai guru bahasa Inggris. Untuk menulis, pembelajar harus mengekspresikan idea atau gagasannya dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan yang berterima. Meski demikian, sebagaimana disinggung di atas, tulisan pembelajar SMP tak luput dari kesilapan dan/atau kesalahan bahasa, karena learner language memang selalu mengandung berbagai kesilapan dan/atau kesalahan.

Terhadap kesilapan bahasa pembelajar, Brown (2000: 218-219) mengingatkan, bahwa terlalu banyak berfokus pada kesilapan pembelajar bisa cukup dilematis. Jika kita mengabaikan kesilapan bahasa mereka berarti tidak membantu mereka meningkatkan penguasaan bahasanya, namun terlalu memperhatikannya berarti menghambat kelancaran komunikatifnya. Untuk itulah, guru perlu bijaksana menentukan mana kesilapan—suatu ‘penyimpangan’ (deviation) dari sistem bahasa sasaran—yang harus diberi perlakukan (treatment) dan mana kesilapan yang harus diterima apa adanya.

Dalam hal ini Brown (2000: 239-240) memberikan suatu model praktis untuk menangani kesilapan bahasa pembelajar sebagai berikut:
1.    Guru mengidentifikasi tipe kesilapan/deviasi bahasa pembelajar (leksikal, fonologis, dll.)
2.    Guru boleh mengidentifikasi sumber penyebab kesilapan, yang nantinya akan berguna untuk menentukan bagaimana guru memperlakukan kesilapan itu: apakah itu interlangual transfer, intralingual transfer, konteks pembelajaran, ataukah strategi komunikasi?
3.    Kompleksitas deviasi mungkin menentukan tidak hanya apakah perlu diperlakukan khusus ataukah diabaikan saja, melainkan juga bagaimana untuk memperlakukannya jika guru memutuskan demikian.
4.    Yang sangat krusial, guru secara cepat memutuskan ujaran atau kalimat yang dihasilkan pembelajar masih bisa dipahami alias diinterpretasikan (local error) ataukah gagal dipahami (global error). Kesilapan lokal kadang bisa diabaikan demi mempertahankan komunikasi, sedang kesilapan global lebih menuntut perhatian untuk memperbaikinya.
5.    Guru perlu menebak apakah bahasa yang dihasilkan pembelajar itu merupakan keterselipan performansi (mistake) ataukah sebuah kesilapan kompetensi. Kesalahan lazim tak perlu perlakuan khusus, sedang kesilapan (error) sering menuntut respons guru.
6.    Guru perlu membuat serangkaian penilaian tentang fragilitas ego pembelajar, tingkat kecemasan, kepercayaan diri, dan kemauan untuk menerima koreksi. Jika pembelajar diam saja, kecemasannya tinggi dan kepercayaan-dirinya rendah, maka guru harus mengabaikan ujaran atau kalimat pembelajar.
7.    Guru memposisikan pembelajar pada tahap perkembangan linguistik tertentu, yang kemudian mampu memberitahu guru bagaimana memperlakukan deviasi bahasa mereka.
8.    Fokus pedagogik guru pada saat ini (Apakah ini tugas-berfokus bentuk yang perlu dimulai? Apakah pelajaran berfokus pada bentuk (bahasa) yang menyimpang? Apakah tujuan umum pembelajaran?) membantu guru menentukan perlu-tidaknya memberikan treatment terhadap kesilapan bahasa siswa.
9.    Guru perlu mempertimbangkan konteks komunikasi dari kesilapan pembelajar—terutama dalam performansi lisan.
10. Guru mempertimbangkan gaya mengajarnya yang menentukan seberapa besar ia memperhatikan dan/atau memperlakukan kesilapan pembelajar.

Sepuluh butir di atas diarahkan agar guru mampu menentukan bagaimana menyikapi kesilapan pembajar. (Meski sekilas butir-butir tersebut untuk kepentingan mengkaji kesilapan ujaran lisan, guru juga dapat mengaplikasikannya dalam kalimat tulis pembelajar.) Jika guru memutuskan tidak melakukan apa-apa terhadap kesilapan pembelajar, maka guru itu bisa melanjutkan tugas mengajarnya. Namun, jika guru memang ingin memberikan perlakuan tertentu, guru memiliki sejumlah opsi. Guru harus memutuskan kapan memberikan perlakuan, siapa yang melaksanakannya, dan bagaimana. Namun, perlu diingat, guru tidak harus selalu menjadi orang yang memberikan treatment. Treatment bervariasi sesuai inputnya pada pembelajar, ke-langsung-an treatment, output pembelajar, dan tindak lanjut guru.


Memperlakukan Tulisan Pembelajar SMP 
Berikut ini ditampilan strategi perlakukan (treatment) terhadap tulisan pembelajar SMP dengan topik memperkenalkan diri. Untuk memudahkan analisis, kalimat-kalimat mereka diberi tanda angka secara berurutan.
Sampel Tulisan: My Self
(1)          My name Prawesti. (2) My age now 14 year. (3) Precisely I am bearing on 04 December 1994. (4) My parent non original Nganjuk, but they from Madiun. (5) My father is Biology teacher, and my mom works at house. (6) I have one old sisters and two old brother. (7) I am now in three year of study in SMP. (8) I school from 07.00  until 12.30.  (9) In this time I study some lessons in school: biology, math, English, and so on.  (10) My English not so good, but I wanna study it hard. (11) I wanna become teacher too.

1.  Identifikasi dan Deskripsi Kesilapan Pembelajar

Berikut ini disajikan langkah identifikasi dan deskripsi terhadap kesilapan bahasa tulisan pembelajar SMP tersebut, yang meliputi tipe kesilapan, level bahasa, dan skope kesilapan. Tipe kesilapan mengacu ke bentuk (form) bahasa pembelajar yang meliputi: penghilangan (ommisive), penambahan (additive), penggantian (substitutive), atau susunan kata (word order). Level bahasa mengacu ke kesilapan fonologis atau ortografis, leksikal, sintaksis (tatabahasa), dan konteks wacana. Dan terkait dengan skope kesilapan, ada kesilapan global (global error) yang menyebabkan ujaran sulit dipahami, dan kesilapan lokal (local error) yang tak mengganggu komunikasi. Identifikasi dan deskripsi kesilapan disederhanakan dalam Tabel berikut ini:

Tabel 1: Identifikasi dan Deskripsi Kesilapan

Kalimat
Tipe Kesilapan
Level Bahasa
Skope Kesilapan

My name Prawesti.
Omission BE.
Saran: My name is Prawesti.
Grammar: Pemakaian tense kurang jelas.
Lokal
My age now 14 year
Omission BE
Saran: My age is now 14 atau I am now 14 years old.
Grammar: Pemakaian tense kurang  jelas.
Leksikon: redundansi pemakaian ‘age’ dan ‘year’.
Lokal
Precisely I am bearing on 04 December 1994.
Substitution preposisi ‘in’ dengan ‘on’.
Ordering: susunan kali-mat kurang runtut.
Saran: I was born in 4 December 1994.
Grammar: penggunaan tense yang salah.
Diksi: pemakaian kata ‘precisely’
Discourse: maksudnya ‘lahir’ (born) tapi malah ‘melahirkan’ (is bearing)
Global
My parent non original Nganjuk, but they from Madiun.
Omission BE.

Saran: My parents are by origin not from Nganjuk; they are from Madiun.
Grammar: Pemakaian tense kurang jelas.
Leksikon: pemakaian kata “non-original” sebagai terjemahan dari “bukan asli”
Semi-Global
My father is Biology teacher, and my mom works at house.
Omission BE.

Saran: My father is a Biology teacher, and my mother works at home.
Leksikon: pemakaian diksi “house” daripada “home”; juga diksi informal “mom” daripada “mother”
Lokal
I have one old sisters and two old brother.
Addition ‘s’ pada kata ‘sister’
Saran: I have one elder sister and two elder brothers.

Leksikon: pemakaian ‘old’ (= tua) untuk memaksudkan “elder” (= kakak)
Lokal
I am now in three year of study in SMP.
Substitution: pemakai-an “three” daripada ‘third’ (tingkat).
Omission: ketiadaan kata ganti posesif pada ‘study’.
Saran: I am now in the third year of my study in SMP.
Leksikon: ketiadaan artikel ‘the’ definitif yang seharusnya mele-kat pada kata ‘third’—bukan ‘three’
Lokal
I school from 07.00  until 12.30. 
Substitution: pemakai-an ‘school’, mengganti ‘study at school’.
Saran: I study at school from 07.00 until 12.30.
Leksikon: kesalahan pemilihan kata ‘school’ sebagai terjemahan dari ‘(ber) sekolah’

Lokal
In this time I study some lessons in school: biology, math, English, and so on. 
Addition: pemakaian preposisi ‘in’ yang tak diperlukan (redundan).
Substitution preposisi ‘at’ dengan ‘in’.
Saran: This time I study some subjects at school: Biology, Math, English, and so on.

Leksikon: pemakaian kata ‘lessons’ daripada ‘subjects’
Orthography: penulis-an nama mata pelajar-an dengan huruf awal kecil, yang mestinya huruf kapital.
Lokal
My English not so good, but I wanna study it hard.
Omission BE.
Substitution: pemakai-an ‘so’ untuk penyangatan, daripada ‘very’.
Saran: My English is not very good, but I want to learn it hard.
Leksikon: pemakaian kata ‘wanna’ (ragam informal) daripada ‘want to’; juga pema-kaian ‘study’ daripada “learn”
Lokal
I wanna become teacher too.
Ommision BE pada kata tunggal ‘teacher’.
Saran: I want to become a teacher too.
Leksikon: pemakaian kata ‘wanna’ (ragam informal) daripada ‘want to’
Lokal

2.  Prediksi Sumber Kesilapan Pembelajar

Berdasarkan pemetaan di atas, kalimat-kalimat dalam tulisan seorang pembelajar bahasa Inggris tersebut kebanyakan bersumber dari intralingual transfer meski juga didapati adanya sebagian kalimat yang bersumber dari interlingual transfer. Interlingual transfer mengkonotasikan dominannya interferensi bahasa L1 ke dalam pembentukan L2, yang dalam hal ini dilakukan dengan menerjemahkan bahasa L1 ke dalam bahasa L2. Adapun intralingual transfer mengisyaratkan penerapan bagian-bagian sistem bahasa L2 secara generalisasi atau over-generalisasi dalam pembuatan kalimat-kalimat baru. Sumber-sumber kesilapan bahasa pembelajar tersebut dapat dipetakan berikut ini:

Tabel 2: Prediksi Sumber Kesilapan

Kalimat
Sumber Kesilapan

(1)      My name Prawesti.
(5)   My father is Biology teacher, and my mom works at house.
(6)      I have one old sisters and two old brother.
(7)      I am now in three year of study in SMP.
(8)    I school from 07.00  until 12.30. 
(9)      In this time I study some lessons in school: biology, math, English, and so on. 
(10)  My English not so good, but I wanna study it hard.
(11)  I wanna become teacher too.
Intralingual transfer, karena hakikatnya pembelajar telah memahami bagian-2 sistem kaidah bahasa Inggris. Pembelajar sering melakukan generalisasi dan atau over-generalisasi kaidah ke dalam kalimat baru yang dibuatnya.
Tidak menutup kemungkinan, konteks belajar dirasa kurang kondusif  bagi latihan atau praktik bahasa, dan karena itu ia mengambil pilihan strategi komunikasinya sendiri agar lebih nyaman.
(2)      My age now 14 year.
(3)      Precisely I am bearing on 04 December
(4)      My parent non original Nganjuk, but they from Madiun 1994.
Interlingual transfer. Meski pembelajar mulai memahami bagian-2 sistem kaidah bahasa Inggris, ia lebih mengandalkan terjemahan dari bahasa Indonesia. Selain itu, konteks belajar dalam kelas agaknya juga mempengaruhi produksi kalimat tersebut, dimana guru memang memberi keleluasaan mengekspresikan gagasan pembelajar, tanpa berada dalam tekanan atau kecemasan membuat kesalahan. Kenyaman inilah yang juga ikut menentukan bagaimana pilihan strategi komunikasi tulis yang diambilnya. Tampak bahwa si pembelajar terkesan percaya diri menulis tiga kalimat tersebut, meski terdapat kesilapan yang cukup mengganggu komunikasi.

3.     Penentuan Tingkat Kompleksitas Kesilapan Pembelajar

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa kalimat-kalimat (1), (5), (6) (7), (8), (9), (10), dan (11) memiliki tingkat kompleksitas rendah. Meski ada ada kalimat compound, namun masih pada bentuk sederhana, dan karena itu—ditinjau dari efektitivitas komunikasi—termasuk memiliki kesilapan lokal. Baik omission, substitution, maupun addition atau pun pemilihan diksinya masih dalam batas bisa dipahami dan komunikatif. Secara kasat mata, guru dapat menagkap maksud yang hendak disampaikan oleh pembelajar. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada tidak menghambat komunikasi secara siginifikan.

Sementara itu, kalimat-kalimat (2), (3), dan (4) secara gramatikal dan leksikal cukup mengganggu. Mereka merupakan hasil terjemahan langsung dari bahasa Indonesia atau (bahkan) bahasa Jawa. Kalimat-kalimat itu mengandung kesilapan global, yang mengganggu pemahaman orang lain. Kalimat (2) bisa ditafsirkan bermacam-macam, termasuk, misalnya, rentang usianya yang berentang 14 tahun. Redundansi pemakaian “my age” dan “year” juga sangat mengganggu, dan jika dibiarkan akan mengarah ke fosilisasi. Demikian juga yang terjadi pada kalimat (3) dan kalimat (4). Bahkan pada dua kalimat terakhir, bentuk gramatikanya lebih kompleks: kalimat (3) mestinya merupakan kalimat pasif, dan kalimat (4) mengandung kesilapan pemilihan diksi, ketidakjelasan tense, dan ketiadaan ‘be’. Inilah kalimat-kalimat yang perlu diperhatikan untuk memperoleh tindakan atau treatment tertentu.
  

4.     Penentuan Tindakan atas Kesilapan Pembelajar
Memperhatikan kalimat-kalimat yang dihasilkan pembelajar tersebut, penulis menggarisbawahi bahwa kebanyakan kalimatnya termasuk kalimat dengan tingkat kesilapan rendah dan sedang, yang masih bisa ditangkap pesannya. Dengan demikian, penulis memiliki pilihan untuk mengabaikannya saja atau memberikan treatment sederhana. Sedangkan pada kalimat (2), (3) dan (4) penulis merasa perlu untuk memberikan treatment tersendiri, karena jika dibiarkan, hal itu akan mengarah ke fosilisasi.

Adapun langkah-langkah tindakan yang dapat diberikan meliputi:
1.    Membuat analisis rinci terhadap setiap setiap kalimat yang akan dikomunikasikan dengan pembelajar.
2.    Mengajak pembelajar untuk mengidentifikasi kesilapan yang telah dibuatnya.
3.    Sambil memperhatikan sikap-prilaku pembelajar—kondusif tidaknya--, mengajak pembelajar untuk menilai apakah kalimat-kalimat yang erroneous, dengan perbandingan-perbandingan secukupnya.
4.    Membimbing pembelajar untuk menyadari bahwa kalimat-kalimatnya masih mengandung kesilapan pada taraf yang berbeda-beda.
5.    Memberikan pedoman praktis untuk melakukan tindakan koreksi secara mandiri terhadap kalimat-kalimatnya.
6.    Memberikan tugas pembenahan kepada pembelajar untuk melakukan koreksi terhadap kalimat-kalimatnya sendiri; dan jika perlu, memberikan keleluasaan untuk mengembangkan tulisan yang telah dibuatnya.
7.    Menagih tugas koreksi-an dan mengkaji apakah pembelajar mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
8.    Memberikan reward yang sepantasnya ketika pembelajar mengalami perkembangan, dan memotivasi lagi untuk lebih meningkatkan bahasanya ketika pembelajar masih belum optimal dalam tugas koreksi-an.

Sementara itu, dalam proses pembelajaran bahasa Inggris secara klasikal di dalam kelas, guru kiranya dapat mengidentifikasi kesilapan dan/atau kesalahan yang paling mendasar dan banyak dibuat oleh pembelajar. Kemudian guru dapat membahas atau menjelaskan secara umum di depan kelas. Struktut dasar Subject + Predicate merupakan pedoman kunci yang harus selalu ditekankan dalam penjelasan umum itu. Ketika pembelajar membuat kalimat yang silap di dalam kelas, dan jika memang harus diperbaiki, guru harus bijaksana dalam melakukannya, dan tidak membuat pembelajar cemas atau ketakutan.

Untuk melakukan perlakukan terhadap kesilapan pembelajar, memang bergantung pada guru setelah memperhatikan kondisi pembelajar, jenis kesilapan, atmosfir kelas, dan factor-faktor lain dalam proses pembelaran. Berikut ini hanya sebuah contoh bagaimana guru bisa memberikan bimbingan koreksi terhadap kesilapan pembelajar:

Pembelajar      : I wanna become teacher too.
Guru                 : Do you mean you want to?
Pembelajar      : No, wanna.
Guru                 : What do you want?
Pembelajar      : Become teacher.
Guru                 : Become a teacher?
Pembelajar      : Yes, become a teacher.
Guru                 : So, do you want to become a teacher?
Pembelajar      : I see. I want to become a teacher too.

Begitulah kiranya guru perlu membimbing pembelajar menyadari kesilapan bahasanya, dan sekaligus membimbing mereka untuk memperbaiki kesilapan yang dibuatnya. Dengan langkah demikian, pembelajar akan merasa nyaman, karena mereka tidak berada dalam tekanan psikologis alias kecemasan membuat kesilapan. Penciptaan atmosfir semacam itu mutlak diperlukan jika guru memutuskan untuk memberikan bimbingan koreksi sendiri (self-correction) secara berkelanjutan. Dalam jangka panjang, pembelajar akan terbiasa untuk mampu melakukan koreksi sendiri terhadap ujaran atau kalimat yang dihasilkannya—yang sekali tempo mungkin hanya akan muncul sebagai kesalahan (mistake) yang mudah diluruskan.

Guru perlu selalu mengingat bahwa belajar bahasa L2 merupakan suatu proses gradual, yang sangat mungkin terjadi kesilapan di sana-sini selama prosesnya. Pembelajar akan selalu memiliki ragam bahasanya yang khas, yang akan mengalami perbaikan jika memperoleh perlakukan yang proporsional (Hoque 2009, dalam http://www.streetdirectory. com/travel_guide/106643/langu-ages/ evaluating_written_ work_ errors_of_bengali_ secondary_students.html). Meski demikian, kesilapan atau kesalahan tidak cukup hanya ditunjukkan bahwa itu silap atau salah. Pemerolehan bahasa tak akan terjadi manakala pembelajar tidak merasa rileks, nyaman, dan menekuni proses belajarnya. Karena itu, sangatlah penting bagi guru untuk menciptakan atmosfir kelas yang kondusif, yang memungkinkan siswa bebas dari tekanan membuat kesalahan, dan ketika mereka membuat kesilapan atau kesalahan, guru harus bijaksana memperlakukannya dan bahkan membimbingnya untuk secara bertahap melakukan self-correction.

Simpulan
Analsisi Kesalahan (EA) memberikan peluang luas bagi praktisi pembelajaran bahasa L2 untuk mengkaji berbagai kesilapan atau kesalahan pembelajar, dan pada gilirannya membantunya untuk memperbaiki kesilapan atau kesalahan bahasa yang dibuatnya.
Kesilapan bahasa pembelajar perlu diterima sebagai sebuah kewajaran, dan karena itu perlu disikapi secara bijaksana ketika menghadapi kalimat atau ujaran pembelajar yang mengandung kesilapan atau kesalahan.
Selaras dengan model Brown, analisis menunjukkan bahwa tulisan pembelajar SMP juga mengandung sejumlah kesilapan. Dalam bentuknya, tulisan itu mengandung omission, addition, substitution, tapi melibatkan ordering. Dalam tataran level bahasa, ia mengandung kesilapan sintaksis, leksiskon, wacana, dan ortografi. Sementara itu, dalam tataran skop komunikasi, kebanyakan (8 kalimat) hanya mengandung kesilapan lokal, dan tiga kalimat mengandung kesilapan global. Delapan kalimat berkesilapan local itu diprediksikan bersumber dari intralingual transfer, sedang tiga kalimat berkesilapan global bersumber dari interlanguage transfer.
Dalam tulisan ini telah didiskusikan bagaimana memberikan perlakuan (treatment) terhadap kesilapan atau kesalahan bahasa, baik per individu maupun secara klasikal di dalam kelas. Yang penting adalah bahwa guru harus selalu ingat, kesilapan bahasa merupakan proses alamiah pembelajaran bahasa L2 dan harus dianggap sebagai bagian dari proses itu, sehingga kesilapan harus disikapi dengan bijaksana.
Yang lebih penting lagi, pembelajar perlu dikondisikan dalam atmosfir belajar yang kondusif agar mereka tidak merasa dalam kecemasan dalam memproduksi ujaran atau kalimat bahasa L2. Dan tatkala kesilapan terpaksa dibuat, guru harus selalu berusaha untuk membimbing pembelajar untuk menyadari kesilapannya dan secara bertahap melakukan self-correction terhadap kesilapan sendiri.  

Daftar Pustaka
Ancker, W. 2000. Errors and Corrective Feedback: Updated Theory and Classroom Practice.

             English Teaching Forum, vol. 38, No 4, October: pp. 20 - 24.

Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning (4thed.). New York: Longman.

Corder, S.P. 1974. Idiosyncratic Dialects and Error Analysis. In J.C. Richards, ed. Error Analysis: Perspectives on Second Language Acquisition. Essex: Longman, 158-171.

Edge, J. 1989. Mistakes and Correction. London: Longman.

Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University

Press.

________. 1997. Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.

Hoque, M Enamul. 2009. Evaluating Written Work Errors of Bengali Secondary Students.

Johnson, Karen E. 1995. Understanding Communication in Second Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.

Krashen, S.D. 1986. Inquiries and Insights: Second Language Teaching Immersion and

Bilingual Education Literacy. New             York: Alemany Press.

Nemser, William. Approximative Systems of Foreign Language Learners. In In J.C. Richards,ed. Error Analysis: Perspectives on Second Language Acquisition. Essex: Longman, 55-63.

Richards, Jack C., eds. 1974. Error Analysis: Perspectives on Second Language Acquisition. Essex: Longman.

Selinker, L. 1974. Interlanguage. In In J.C. Richards, ed. Error Analysis: Perspectives on
Second Language Acquisition. Essex: Longman, 31-54.
Tollefson, James W. 1991. Planning Language, Planning Inequality. New York: Longman

1 komentar:

  1. THANKS WAT TULISAN NYA BISA NGEBANTU TUGAS KULIAH KU......

    BalasHapus