Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Kamis, 20 Januari 2011

IRONI, PARADOKS, AMBIGUITAS, DAN TENSI DALAM PUISI E. A. ROBINSON “RICHARD CORY”


Tutut Guntari
Pengantar
Puisi, sebagai salah satu genre sastra, menawarkan pesan moral yang perlu ditafsirkan dan ditangkap maknanya oleh pembaca. Puisi bahkan sering dianggap sebagai sumber inspirasi bagi manusia untuk memperkaya pengalaman dan meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan, tak jarang puisi digunakan untuk falsafah hidup.
            Membaca puisi pada hakikatnya menafsirkan puisi itu sendiri. Penafsiran seseorang atas sebuah puisi bisa berbeda dengan orang lain dan orang lain lagi, karena pada hakikatnya dua hal mendasar: pertama, sebagai karya sastra, puisi memang terbuka bagi segala bentuk dan versi penafsiran; dan kedua, orang per orang memiliki pengalaman baca dan pengalaman hidup yang berbeda dan bervariasi.  Karena tingkat penafsiran pembaca bervariasi, “kebenaran makna” puisi itu pun juga bervariasi pula.
            Dalam membaca puisi, apa lagi harus mengkritisinya, kita perlu memperhatikan unsure bentuk dan isi puisi itu secara seksama. Beberapa di antaranya—dalam pendekatan New Criticism—adalah ironi, paradoks, ambiguitas (keraguan), dan tensi (ketegangan). Tidak sederhana untuk menemukan keempat aspek ini dalam puisi, namun penulis mencobanya pada puisi yang naratif (cerita dalam puisi) yang mengandung kronologi waktu dan kejadian.
            Tulisan ini mencoba mengkaji kehadiran ironi, paradoks, ambiguitas, dan tensi dalam sebuah puisi Edwin Arlington Robinson berjudul “Richard Cory.” Empat unsur itu akan dilacak di dalam ”Richard Cory”, dan akan disajikan cerara berurutan. Meski demikian, sebuah makna literal (parafrase) akan dikemukakan terlebih dahulu sebelum beralih ke empat unsur tersebut.

Parafrase
            Parafrase, atau literal meaning, dimaksudkan untuk mengacu ke pemaparan atau penceritaan kembali isi umum puisi dalam bahasa penulis sendiri sebagai penafsir. Sebelum itu penulis perlu tampilkan puisi E.A. Robinson “Richard Cory” berikut ini:

Richard Cory
Whenever Richard Cory went down town,
We people on the pavement looked at him:
He was a gentleman from sole to crown,
Clean favored, and imperially slim.

And he was always quietly arrayed,
            And he was always human when he talked;
But still he fluttered pulses when he said,
            “Good morning,” and he glittered when he walked.

And he was rich—yes, richer than a king—
            And admirably schooled in every grace:
In fine, we thought that he was everything
            To make us wish that we were in his place.

So on we worked, and waited for the light,
            And went without the meat, and cursed the bread;
And Richard Cory, one calm summer night,
            Went home and put a bullet through his head.

                                                --EDWIN ARLINGTON ROBINSON
           
Setelah pembacaan atas puisi si atas, penulis memparafrasekannya berikut ini: bahwa puisi ini menceritakan seorang aristokrat, bangsawan, yang tinggal di pinggiran kota (tampak dari ungkapan “whenever Richard Cory went down town”), yang kaya-raya (bahkan lebih kaya dari seorang raja) dan gentleman sempurna. Pakaian mewah, sikapnya santun dan manusiawi humansaat bicara, bibirnya bergetar saat menyapa orang, mentereng (berkilauan) saat berjalan, dan terdidik dalam setiap kemuliaan—sehingga di mata orang-orang miskin (on the pavement) RC adalah segalanya, yang punya segala kelibihan—orang yang sangat mungkin diirikan.
RC suka pergi ke kota, dan menyaksikan kepahitan hidup orang-orang miskin, kelas rendah yang jauh berbeda strata sosialnya dengan RC. Bagi RC kehidupan orang-orang miskin itu begitu mengerikan dan menyedot simpati bagi siapapun, termasuk RC. Tampaknya RC ingin berbuat sesuatu untuk membantu mereka. Sementara itu, RC sendiri juga merasa teralienasi secara psikologis dan sosial.  Sehingga, ketika RC tak mampu menolong mereka, dan merasa berdosa, dia akhirnya menembak kepalanya pada sebuah malam musim panas yang lengang. Sebuah kematian tragis yang ironis…

Ironi
Dalam sastra dikenal tiga jenis ironi: ironi verbal, ironi dramatik, dan ironi situasional. Perwujudan ketiga jenis ironi itu memang sebagaimana tercermin dalam istilahnya, namun hakikatnya sama-sama ironi, suatu kondisi yang mengandung kejanggalan oposisional antara harapan dan kenyataan, antara yang ada dan seharusnya ada, dan seterusnya. Adalah sebuah ironi jika di negeri makmur, gemah ripah loh jinawi, ada banyak manusia melarat.
Dalam puisi ini terdapat ironi situasi yang kental. Di kota besar, yang semestinya pusat segala kemewahan dan kegemerlapan, hiduplah orang-orang miskin (on the pavement) dalam ketiadaan daging (without the meat) dan roti (cursed the bread)—yang apa yang dikerjakan tak membuahkan hasil sepadan. Tiada harapan untuk masa depan yang cerah, mereka hanya menunggu (waited for the light) kualitas hidup yang membaik. Sementara itu, ada seorang aristokrat kaya raya—Richard Cory—gentleman seutuhnya (mulai ujung rambut sampi ujung kaki), yang sering pergi ke kota, menyaksikan kemelaratan dan ketertindasan sempurna. Betapa jauh jarak strata-sosial (kesenjangan) antara Richard Cory dan seluruh orang miskin yang mengaguminya  bak seorang raja. Suatu kenyataan yang amat ironis.  



Paradoks
Paradoks adalah kondisi yang mencerminkan nuasa kesebalikan dari yang diharapkan. Orang dilarang menginjak rumput di taman, malah mereka dengan sengaj menginjak-injaknya. Di bungkus rokok selalu ada tulisan bahwa merokok sangat berbahaya bagi kesehatan, namun banyak sekali orang yang malah merokok. Di bioskop-bioskop tertulis “Hanya khusus dewasa” terhadap film tertentu, namun demikian banyak anak-anak seusia SMP yang menonton film itu. Kebanyakan orang ingin kaya, namun tidak sedikit bhiksu atau sufi yang malah minta agak miskin saja agar tidak terlalu terikat dengan keduniawian.
Paradoks muncul ketika orang-orang miskin (on the pavement) itu berandai-andai menjadi Richard Cory: tampan, berpenampilan wah, kaya, dan sebagainya. Padahal, tanpa diketahui orang-orang miskin itu, Richard Cory sebenarnya malah merasa sangat miskin—yakni miskin psikologis dan sosial. Bathinnya terbelenggu, pergaulannya sangat terbatas, seakan ada dinding tebal yang membuatnya tak mampu bersosialisasi dengan orang lain. RC teralienasi dalam segala kelebihannya, tanpa solidaritas dan pertemanan yang akrab sebagaimana yang dialami orang-orang miskin. Sapaan “Good morning” RC menunjukkan betapa dia ingin membaur dalam kehidupan yang dicekam kemelaratan harta tapi kaya dalam solidaritas dan pertemanan.

Ambiguitas
Ambiguitas atau keraguan adalah kondisi di mana seseorang berada dalam posisi dilematis, memilih A dan B yang dipenuhi kebimbangan. Pada taraf tertentu ambiguitas membuat seseorang berkarakter ganda, yang memungkinkan dia untuk bertindak akomodatif seperti falsafah bunglon. Namun, secara hakikat, seseorang yang ambigu akan sulit menentukan sesuatu sikap atau tindakan.  
Ambiguitas (keragu-raguan) tercermin dari betapa kelu lidah RC sekedar menyapa “Good morning,” kepada orang-orang miskin. Terbersit keragu-raguan, apakah dia acuh tak acuh atas nasib kelam orang-orang miskin, ataukah bertindak sesuatu untuk membantu mereka. Sementara itu, orang-orang miskin itu telanjur menaruh harapan akan memperoleh uluran tangan RC yang penuh kelebihan. “…we thought that he was everything to make us wish that we were in his place.”

Ketegangan (Tensi)
Ketegangan atau tensi merupakan kondisi di mana seseorang mengalami ketegangan bathin dan/atau sosial. Dalam plot kondisi ini digambarkan sesaat menjelang klimaks dan menyongsong resolusi. Seorang karakter, karena dihimpit berbagai krisis, mengalami pergolakan bathin yang dahsyat. Di penghujung ketegangan ini lazimnya ada resolusi masalah yang dihadapinya.
Dalam puisi “Richard Cory” ironi situasi, kondisi paradoks, dan ambiguitas di atas—yang dikondisikan lebih mencekam oleh kemelaratan dan kelaparan orang-orang miskin—menyebabkan ketegangan bathin RC yang luar biasa. Dia merasa berdosa dan tertekan akibat ketakmampuannya memberikan perbantuan terhadap nasib orang-orang miskin yang menggelandang tanpa makanan layak. Dalam ketegangan itu dia sempat termenung dalam malam musim panas yang lengang—suatu kelengangan yang menyimbolkan ketersendiriannya dan “kemiskinan”-nya. Ketegangan bathin inilah yang akhirnya mendesaknya untuk pulang dan melunasi hidupnya alias bunuh diri.

Epilog
            Demikian diskusi singkat tentang ironi, paradoks, ambiguitas, dan ketegangan dalam puisi “Richard Cory.” Sebagaimana tampak dalam diskusi di atas, puisi ini mengandung keempat unsur tersebut, di mana tiga unsur pertama secara simultan mengkondisikan munculnya unsur ke empat. Meski demikian, penulis mencatat bahwa tingkat intensitas masing-masing unsur tidaklah sama, sebagian kuat dan sebagian lain agak lemah. Sebagaimana riak-riak air laut, puisi tersebut memiliki ritme khasnya sendiri, yang menciptakan sebuah harmoni dalam ritme-ritmenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar