Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Rabu, 02 Maret 2011

PROSES INDIVIDUASI NAI NAI DALAM CERPEN DJENAR MAESA AYU “PAYUDARA NAI NAI”


oleh Tutut Guntari
1.    Pendahuluan
Dalam pengantarnya terhadap kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Richard Oh (2003) menulis bahwa Djenar menampilkan suatu dunia yang dipadati manusia terluka, termarginalkan, dan terkhianati. Tak ada pijakan kokoh dalam dunia ini. Komitmen dapat berubah setiap saat, ikatan tidak mengikat, dan logika tak punya validitas. Lebih lanjut, karakter-karakternya eksistensialis, penuh dengan paradoks, tercipta dari lingkungan yang brutal. Dengan mengikuti perjalanan karakter-karakter, kita seakan berada dalam suatu perjalanan yang krusial sehingga kita belajar tentang diri, kita, beban-beban yang ditumpukkan di bahu kita oleh teman-teman kita, pasangan kita, atau lingkungan pergaulan kita.
Demikian pun apa yang kental terasa dalam salah satu cerpen dalam buku tersebut, yakni cerpen “Payudara Nai Nai”. Nai Nai, tokoh sentral dalam cerpen ini, hakikatnya juga sedang terluka dan termarginalkan dalam upaya memperjuangkan identitas diri, agar memperoleh pengakuan yang wajar di mata orang lain. Dorongan kuat untuk merebut hati seseorang yang disayanginya Nai Nai memaksanya melakukan berbagai upaya memperkuat keakuannya di depan orang lain, dan menciptakan citra sosial seakan dia berpotensi besar untuk mewujudkan impiannya. Serentetan upaya inilah yang menempatkannya dalam proses individuasi atau penemuan diri sendiri.
Memang, hidup senantiasa berubah, menantang dan sulit diprediksi. Sebagai manusia Nai Nai harus menemukan individuasi-diri untuk mencapai tingkat perkembangan personal tertinggi. Dengan menemukan setiap bagian dari individualitasnya, baik sisi gelap maupun terang, dia akan menjadi seseorang individu, yang berkepribadian integratif secara utuh.. Kata Jung dalam Boeree (2007), orang tak akan tercerahkan dengan mengimajinasikan bayang-bayang sinar terang, kecuali dengan membuat sadar sisi gelapnya. Maka, proses indviduasi diperlukan, yakni proses mengetahui bagian tergelap kita untuk mencapai kesadaran-diri yang membuat kita menjadi individu yang utuh (full-individual).
Menelisik proses individuasi seorang karakter, termasuk Nai Nai, menurut Wellek dan Warren (1990: 90), termasuk kajian (perkembangan) psikologis yang direpresentasikan di dalam karya sastra. Perkembangan psikologis erat kaitannya dengan konflik yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, kritik sastra Jungian dipandang sesuai karena perlu dielaborasikan mengenai karakterisasi dan konflik dalam proses individuasi. Hal ini akan berguna untuk mengetahui bagaimana Nai Nai mengalami arketipe-arketipe untuk menggapai Diri-nya.
Dalam hal ini Jung (1968: 36) menegaskan bahwa, “tujuan individuasi tak lain adalah untuk membebaskan arketipe Diri dari bungkus atau cangkang persona (topeng mental sebagai adaptasi atas tuntutan sosial) dan dari otoritas pikiran tak sadar yang jauh menghilang dari yang seharusnya” untuk menggapai personalitas sejati: identitasnya! Maka, Nai Nai harus mampu membedakan mana identitas diri sebenarnya dan mana persona-nya yang telah dibentuk oleh kondisi-kondisi dan tuntutan sosial. Meski persona sering tersamarkan dengan shadow dan arketipe pikiran tak sadar lain, manusia tak mesti menghapusnya, karena manusia yang terlalu curiga dengan persona-nya sendiri berarti dia meremehkan pentingnya masyarakat sekitar, dan tak menyadari individualitas-nya sama dengan menjadi merionet masyarakat (Jung, 1950/1959).
Dalam proses individuasi, Nai Nai tak mungkin terlepas dari pengaruh atau keterlibatan sosial dengan masyarakat, dan karena itulah tipe karakternya akan memiliki pengaruh cukup besar,  Karakter menentukan bagaimana dia menyikapi perkembangan dan perubahan dalam dirinya dan hubungan dengan orang lain, dan bagaimana menghadapi konflik-konflik yang terjadi. Sangat boleh jadi proses individuasi Nai Nai merupakan proses yang unik, yang berbeda dengan karakter lain dalam cerpen ini. Hasil individuasinya pun, pada akhirnya, juga tampak unik dan berbeda dengan karakter lain.
Berangkat dari latar belakang pemikiran di atas, kiranya menarik untuk mengkaji proses individuasi Nai Nai, dikaitkan dengan karakterisasi dan konflik-konflik yang menyertainya. Karena itu, tulisan ini dimasudkan untuk menjawab masalah-masalah berikut ini: (1) Bagaimana proses individuasi Nai Nai digambarkan dalam cerpen “Payudara Nai Nai”?; dan (2) Konflik-konflik apa saja yang dialami oleh Nai Nai selama proses individuasinya?
            .
2.    Kajian Teoretik
Untuk mendekati dua masalah tersebut, akan dikemukakan telaah teoretik yang relevan, yakni teori individuasi dan teori konflik. Paparan singkat tentang teori-teori tersebut disajikan berikut ini

Teori Individuasi Jung
Psikoanalisa Carl Gustav Jung dikonstruksi dengan menolak asumsi bahwa fenomena misterius dapat dan benar-benar mempengaruhi hidup seseorang. Jung yakin, bahwa setiap kita termotivasi bukan hanya oleh pengalaman-pengalaman represif, melainkan juga pengalaman emosional yang diwarisi dari nenek moyang. Imaji-imaji warisan ini membentuk apa yang Jung sebut “ketaksadaran kolektif” (the collective unconscious). Unsur-unsur ketaksadaran kolektif muncul sebagai “arketipe” (archetypes). Arktipe paling inklusif merupakan konsep proses individuasi, yang dicapai hanya dengan menyeimbangkan energi-energi personalitas yang saling berlawanan. Menurut Feist dan Feist (2006), teori Jung menjelajah kutub-kutub saling berlawanan yang akhirnya membentuk individuasi seorang individu, yang sering disebut proses individuasi.
Individuasi merupakan cara yang unik yang dialami seseorang untuk mengembangkan identitas sejatinya. Inilah proses realisasi-diri yang di dalamnya orang mengintegrasikan muatan-muatan psikis yang berkemampuan untuk menjadi sadar. Indivisuasi ini merupakan proses alamiah, dan tak bisa distilmulasi oleh sesuatu yang eksternal, tetapi tumbuh dari dalam. Dengan proses individuasi pertanyaan tentang identitas faktualnya memungkinkan bisa dijawab, sebagaimana kehendak untuk menjadi Diri yang utuh bisa diwujudkan tatkala ia ditunjukkan dalam hidup yang unik dan privat (Jung, 1968: 28).
Proses individuasi merupakan evolusi untuk mengintegrasikan kutub-kutub berlawanan ke dalam seorang individu yang homogen, yang secara umum melalui lima tahap arketipe: persona, shadow, anima/animus, wise old man/woman, dan self. Ringkasanya, proses individuasi dimulai dengan menjadi sadar atas Persona—topeng yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari kita. Setelah itu kita menjadi sadar atas Shadow—karakteristik-karakteristik ego yang mengalami represi. Lalu kita sadar atas Anima—sisi dalam wanita (inner woman) dalam setiap laki-laki, atau Animus—sisi dalam laki-laki (inner man) dalam setiap laki-laki. Kemudian imej laki-laki atau wanita tua bijaksana muncul, yang setelah itu terjadilah pengalaman Self. (http://www.soul-guidance.com/ houseofthe sun/individuationprocess.htm/)
Persona diibaratkan seperti topeng yang kita kenakan, sebuah topeng yang mempura-purakan individualitas. Ia membuat kita percaya bahwa seorang kita adalah individu yang pasti, namun sejatinya tak lain peran yang dimainkan cantik. Persona adalah sebuah kompromi yang kita ciptakan antara kita dan masyarakat tentang bagaimana kita. Kita kira kita seorang bisnismen atau ayah yang baik, namun sejatinya semua ini hanya topeng semata, cara bagaimana kita tampil di depan orang lain dan tak selalu mencerminkan siapa kita sebenarnya. Adapun apa yang tersembunyi di balik topeng itu disebut privasi (privacy).
Shadow merupakan keberadaan inferior kita, yang ingin melakukan segala sesuatu yang kita sendiri melarangnya untuk dilakukan. Dengan kata lain, shadow adalah segala hasrat dan emosi tak beradab yang tak sesuai dengan norma-norma masyarakat dan personalitas ideal kita. Inilah ciri-ciri ego yang tak dikenali. Jika kita melihat shadow kita, kita menjadi sadar, dan sering merasa malu—ciri-ciri dan impuls yang tak kita akui dalam diri sendiri tapi jelas tampak dalam orang lain: misalnya, kemalasan spiritual, fantasi maya, intrik, keacuh-acuhan, keserakahan, dan sebagainya yang lazimnya membuat kita berujar, ”Ah, tidak masalah. Tak seorang pun tahu, toh orang lain juga melakukannya.” Ketika kita bergabung dengan khalayak, kita otomatis merasa perlu menyesuaikan tindakan kita seperti yang mereka lakukan. Dalam hal ini tendensi diri kita tertekan, dan membuat shadow kita membesar.
Sementara itu, anima adalah personifikasi tendensi-tendensi psikologis wanita di dalam psikis seorang laki-laki, termasuk perasaan, mood, intuisi, penerimaan atas ketakrasionalan, kemampuan mencintai, perasaan terhadap alam, dan sikap laki-laki terhadap sesuatu unconscious. Anima ini diwarisi dari ibu atau wanita yang sangat dekat dengannya. Imaji yang dia bangun memang bukan persis, namun diwarnai dan dibentuk oleh kemampuan warisannya untuk menghasilkan imeji tentang ibu, inilah anima-nya. Maka, anima bisa positif dan negatif, dan bisa mewujud dalam berbagai ekspresi verbal dan non-verbal. Jika seseorang tak memiliki anima yang sehat, dia tak akan mampu mengatasi masalah-masalah hidup, bahkan cenderung sentimental atau mudah tersinggung. Sebaliknya, jika anima-nya sehat, dia akan kreatif dalam fantasi, mood, and luapan emosinya. Dan semua ini menjadi petunjuk bagi perkembangan psikologis seorang laki-laki.
Animus dalam wanita merupakan konterpart anima di dalam laki-laki. Sebagaimana anima, animus pun memiliki tiga akar: imaji kolektif laki-laki yang diperoleh seorang wanita, pengalamannya dengan laki-laki dalam hidupnya, dan prinsip kelakian yang laten di dalam dirinya. Kendati animus juga memiliki aspek baik-buruk, ia memiliki tendensi kuat untuk muncul dalam bentuk tindakan ‘sakral’. Bagian kelakian dalam wanita ini tampak jelas ketika dia mengajar dengan suara lantang dan tegas, atau kondisi emosional yang keras. Wanita ini bisa tiba-tiba menjadi keras kepala, dingin dan benar-benar tak bisa didekati. Itu sisi negatifnya. Adapun positifnya, kondisi itu menjadi jembatan menuju Diri lewat kemampuan kreatifnya. Semua ini tak lain diwarisi dari ayahnya.
Wise old man/woman (penyelamat, guru) adalah personifikasi prinsip spiritual, yang merepresentasikan pengetahuan, refleksi, kearifan, kepandaian, dan intuisi pada satu sisi dan, pada sisi lain, kualitas-kualitas moral seperti kebaikan hati dan kesiapan untuk membantu, yang membuat karakter ‘spiritual’nya cukup seimbang. Ini merupakan kepanjangan anima/animus (Feist dan Feist, 2006: 98). Arketipe ini dipersonifikasikan sebagai dalam impian sebagai ayah/ibu, kakek/nenek, guru, filosof, dokter, atau pendeta. Ia juga disimbolkan dengan hidup itu sendiri. Karya sastra tak jarang mengungkap seorang muda yang minggat dari rumah, berkelana di berbagai penjuru dunia, mengalami berbagai masalah dan menderita dalam hidup, dan akhirnya mencapai kearifannya (Jung, 1954/1959).
Arketipe terakhir adalah Self. Jung percaya setiap personalitas mampu mencapai Diri yang inklusif berkat proses, karena ia memotivasi arketipe lain dan mengintegrasikan semuanya di dalam proses individuasi, dimana seseorang menyadari Diri (Self) sendiri. Self juga memiliki unsur-unsur unconscious, meski ia terbentuk oleh imaji-imaji pikiran ketaksadaran kolektif dan pikiran ketaksadaran personal, dan juga mengandung imaji-imaji personal karena ia tidak membaur dengan ego yang hanya menampilkan pikiran sadar (Feist dan Feist, 2006: 100).
 Meski Self hampir tak pernah menjadi seimbang secara sempurna, setiap orang dalam pikiran ketaksadaran kolektifnya mempunyai konsep tentang Self yang utuh dan ideal. Untuk mengalami keutuhan Self ini seseorang harus mampu mengalahkan ketakutan akan pikiran tak sadarnya, mencegah persona-nya mendominasi kepribadiannya, menyadari shadow-nya sendiri, dan memberanikan diri untuk menghadapi anima/animus-nya. Singkatnya, Self mencakup jiwa yang sadar dan tak sadar, dan ia menyatukan unsur-unsur psikis yang kontradiktif—laki dan wanita, baik dan buruk, energy terang dan gelap.

Teori Konflik
Konflik adalah kontes, persaingan, antara dua karakter atau lebih yang, menurut Holman dan Harmon (1980), merupakan aspek penting sebuat cerita, karena ia mengkondisikan eksistensi motivasi para karakter dan secara gradual menempatkan mereka dalam posisi oposisi dengan tujuan berbeda untuk dicapai. Kekuatan oposisi ini, menurut Perrine (1983: 42) bisa ditemukan tidak hanya dalam bentuk tindakan (aksi), melainkan juga dalam ide, hasrat atau kehendak. Sementara itu, Wellek dan Warren (1990) mengasumsikan konflik sebagai sesuatu dengan kualitas dramatik, yang mengacu ke pertarungan antara dua kekuatan ‘seimbang’ yang mengimplikasikan terjadinya aksi dan reaksi.
Holman dan Harmon (1980) menyatakan, ada dua konflik mendasar yang muncul dalam karya sastra: eksternal dan internal. Konflik eksternal merupakan konflik yang terjadi antara karakter (tokoh) dengan alam, karakter lain, dan (norma) masyarakat sekitar. Sedangkan konflik internal adalah konflik yang terjadi ketika karakter utama atau sentral dalam cerita mengalami pergulatan bathin, dengan hakikat dirinya sendiri. Dalam hal ini Perrine (1983: 42) menyederhanakan jenis konflik itu menjadi tiga: manusia-lawan-manusia, manusia-lawan-lingkungan, dan manusia-lawan-diri sendiri. Pemilahan itu lebih kurang sama dengan pendapat Muller dan Williams (1985: 44).
Dalam menghadapi konflik, karakter satu memiliki strategi berbeda dengan karakter lain. Ada karakter yang mampu mengendalikan konflik, dan sebaliknya ada karakter yang dikuasai konflik yang dialaminya. Sementara itu, sang karakter mungkin berada dalam konflik pada saat yang bersamaan dan kadangkala tidak disadarinya bahwa dia sedang terlibat dalam konflik itu (Perrine, 1983: 42). Meski demikian, seseorang karakter dengan konflik tertentu tidak secara langsung dibuntu oleh tujuan yang dipilihnya, melainkan harus memilih alternatif-alternatif tujuan yang lain—sepanjang kondisi memungkinkan (Warga, 1983: 112).
Terkait dengan proses individuasi, konflik demi konflik bisa saja terjadi pada karakter dalam cerita. Karakter itu mungkin mengalami konflik dengan alam, dengan lingkungan sosial, dan/atau dengan diri sendiri saat mengalami bertumbuhnya arketipe-arketipe persona, shadow, anima/animus, old wise man/woman, dan self. Tingkat intensitas konflik itu, dan bagaimana karakter menyikapinya, bisa muncul selama proses individuasi. Karena itu, teori konflik diambil dalam kajian ini untuk melacak kemungkinan konflik yang muncul di dalam cerita.  

3.    Pembahasan
            Dalam bagian ini akan disajikan secara berututan tentang deskripsi proses individuasi yang dialami Nai Nai sepanjang pergulatan hidupnya, dan kemudian konflik-konflik yang dialaminya selama proses individuasi tersebut. Data utama untuk dianalisis diambil dari cerpen “Payudara Nai Nai” dan diiterpretasikan dengan menggunakan teori individuasi dan teori konflik sebagaimana dipaparkan di atas.

Deskripsi Proses Individuasi Nai Nai
Telah disinggung terdahulu, bahwa dalam proses individuasi, manusia mencapai keutuhan  psikis manakala dia sukses mengkombinasikan perbedaan-perbedaan psikis (arketipe) and menyeimbangkan perbedaan itu dalam hidupnya. Maka, dalam bagian ini proses individuasi akan mengungkap arketipe-arketipe yang muncul dalam cerpen yang mengarahkan ke proses individu itu sendiri—terlepas apakah dia akhirnya menemukan diri sejatinya (individuated) atau tidak.
Persona
Tahap pertama proses individuasi Nai Nai dimulai dengan mengungkap persona yang dia gunakan sejak awal. Nai Nai adalah karakter yang cukup kuat, meski tumbuh dalam keluarga miskin. Sebagai hero perempuan (heroine), dia seorang gadis yang memiliki kemauan keras. Meski demikian, dia kurang menunjukkan kualitas feminin-nya sebagai gadis—terlebih payudaranya rata, sesuatu yang diperolok teman-temannya sehingga dia harus menunjukkan sisi maskulinitasnya. Tanpa payudara besar pun dia akan mampu seperti teman-teman perempuan. Hal ini dia gunakan sebagai persona. Dia tumbuh dari keluarga sangat sederhana, ibunya telah lama meninggal, sedang ayahnya pembersih pendingin ruang waktu siang dan penjual buku stensilan waktu malam (Ayu, 2004: 109).
Karena tumbuh tanpa keberadaan ibunya, Nai Nai bercermin pada ayahnya untuk kuat menghadapi berbagai masalah. Dia merasa perlu melawan konstruksi sosial teman-temannya akibat payudaranya yang rata (kecil). Sejak kecil hingga duduk di bangku SMP, dalam berbagai kesempatan, dia diejek dan dilecehkan sebagai perempuan yang memakai kaus kutang, bukan kutang—simbol kebanggan perempuan (Ayu, 2004: 108).  Simbol kebanggaan ini tentu dikaitkan dengan laki-laki, karena perempuan ingin menyenangkan laki-laki yang lazimnya menyukai perempuan berpayudara besar. Karena berpayudara kecil dan diperolok habis-habisan, Nai Nai menjadi minder alias rendah diri (Ayu, 2004: 110). Namun, dia bertekad untuk membunuh perasaan rendah diri itu.
Mustahil memang baginya untuk sejajar dengan teman-teman SMP-nya, yang mayoritas adalah kalangan menengah ke atas, yang ayahnya direktur, yang datang ke sekolah dengan mobil pribadi, yang fasih mengobrol tentang trend baru, restoran, nama-nama menu, tempat hiburan, pernik barang obral, daerah plesiran, sensasi hubungan seksual, serta yang (bagi teman-teman perempuan) berpayudara tidak kecil. Mustahil juga dia mengganti namanya ‘Nai Nai’, sebuah nama berbahasa Mandarin, yang berarti payudara, padahal dia sendiri tak memiliki payudara. Justru dia harus bangga menyandang warisan nama dari orangtuanya. Dalam posisi inilah dia menemukan persona-nya: sosok Nai yang tidak boleh direndahkan dan seharusnya diperlakukan sejajar dengan teman-temannya.

Shadow
Nai menemukan shadow-nya sejak dia diejek teman-teman SMP-nya (Ayu, 2004: 108).  Nai diejek karena payudaranya kecil dan hanya memakai kaus kutang, padahal kutang adalah symbol kebanggaan perempuan. Terhadap ejekan itu, seharusnya Nai tak perlu merisaukannya, karena payudara bukanlah pesanan, melainkan terbawa sejak lahir. Kondisi itu mestinya diterima apa adanya, itulah kodrat; yang mengganjal adalah bagaimana teman-temannya telah mengkonstruksi ejekan mereka sebagai suatu stigma yang menyeramkan. Demikian juga, shadow-nya ditemukan tatkala Yongki, teman lelakinya, justru mempopulerkan ejekannya ke seluruh teman sekolah. Nai merasa hal ini sangat merusak namanya, dan menghancurkan hidup dan keluarganya. Seharusnya, Nai mendialogkan tindakan Yongki tersebut, namun dia justru berkeinginan bagaimana membuat Yongki sadar akan rasa sayangnya.
Maka, dia menemukan cara bagaimana agar diterima di tengah teman-temannya secara wajar: yakni membaca buku-buku stensilan yang memuat tentang cerita ilustratif berkaitan dengan betapa laki-laki begitu berhasrat kepada payudara besar dan seputar hubungan seksual—yang kemudian diceritakan kepada mereka seolah-olah semua itu apa yang dimiliki dan merupakan pengalaman pribadinya (Ayu, 2004: 113). Semakin banyak buku bacaan yang dilahapnya, semakin seru cerita rekaan yang mampu dia tuturkan, dan dengan menjadi pencerita, dia merasa berada di atas angin, yang berhasil mempengaruhi teman-temannya.
Penghayatan cerita rekaan itu mendalam tentu saja akibat penghayatan pembacaan yang ditempuhnya. Saat membaca, Nai bukan lagi perempuan berkaus kutang, melainkan perempuan berkutang yang digarap di meja direktur, yang mampu menjepit penis lelaki di sela payudaranya, yang mampu mengencani dua lelaki dalam sehari, dan bahkan yang mampu melayani empat lelaki sekaligus dalal satu waktu (Ayu, 2004: 111). Dan lelaki yang dalam imajinasinya adalah Yonki, pemuda yang ditaksirnya dan sekaligus yang memperoloknya. Dalam dunia impian-nya, yang di dalamnya ada sosok Yongki, Nai mampu mengemas berbagai cerita sensasional tentang kencan dan hubungan seks yang efek biusnya meluas di antara teman-temannya, termasuk teman laki-lakinya.
Memang Nai menemukan kesamaan rasa ketika membaca (buku stensilan) dengan ketika menceritakannya, dan menyadari bahwa dengan bercerita dia lebih dominan daripada membaca. Nai bisa berubah menjadi apa dan siapa yang sedang diceritakannya. “Ia hanyut dalam imajinasi dan realitas. Campur baur. Tumpang tindih. Ia bukan hanya perempuan berkaus kutang yang menjelma sebagai perempuan berkutang, atau perempuan berpayudara kecil yang menjelma sebagai perempuan berpayudara besar. Ia bukan hanya perempuan idaman yang bisa menggarap beberapa lelaki bersamaan. Tapi ia adalah perempuan berkutang, berpayudara kecil, yang bisa menggarap lelaki (Ayu, 2004: 114).
Terhadap apa yang ditempuhnya, Nai seharusnya merasa malu, bahwa dia terlalu mengandalkan cerita fantasinya tentang dirinya dan Yongki, hanya untuk merebut simpati teman dan sekaligus simpati Yongki. Seharusnya Nai menghadapinya dengan segala keberanian dan kesiapan menerima risiko apa pun demi mempertahankan martabatnya sebagai manusia.

Animus
Arketipe animus Nai berkembang tatkala dia harus membuktikan bahwa dia mampu akan mampu menundukkan perhatian Yongki. Animus Nai bersumber dari ayahnya. Meski hanya sebagai pembersih pendingin ruangan dan penjual buku stensilan, ayahnya bersikeras menyekolahkan Nai di sebuah sekolah swasta ternama agar bisa hidup lebih layak ketimbang apa yang mereka lalui sekarang (Ayu, 2004: 110). Dalam diri ayahnya tercermin semangat besar dan pantang menyerah, tak peduli kemiskinan melilit hidupnya. Hidup harus diperjuangkan, direbut, dan dimenangkan. Kemiskinan dan keterbatasan seharusnya bukan suatu alasan untuk tidak mengejar cita-cita dan keiinginan. Di samping itu, untuk menjadi kuat dalam mengejar cita-cita, orang harus menyisihkan gengsi dan malu sepanjang sikap dan perilakunya benar.
Dengan animus-nya itu Nai ingin menghadapi kenyataan pahit akibat kurang diterima oleh teman-temannya, termasuk (terutama) pemuda idamannya, Yongki. Dia ingin membuat teman-temannya memberinya perhatian, dan sekaligus menarik simpati Yongki. Karena itu dia membuat cerita-cerita rekaan berdasarkan hasil bacaannya terhadap buku stensilan yang memuat berbagai adegan seks. Nai sekaligus juga bertekad untuk merebut perhatian Yongki, dengan membuatnya cemburu. Mengapa? Akibat bacaan buku stensilan yang dia ceritakan kembali, teman-teman lain semakin menerimanya, bahkan ada yang memburunya.
Keiinginan Nai untuk mendapatkan simpati teman dan Yongki didasari keyakinan bahwa, dalam kondisi apapun, keinginan haruslah diperjuangkan. Dia yakin akan mampu menundukkan kegigihan Yongki, tak peduli berapa buku stensilan yang harus dilahapnya dan berapa kali lagi harus diceritakannya secara dramatis dan memikat di depan teman-teman lain. Dia tak bosan-bosan melakukannya dalam berbagai kesempatan, karena “…segala yang ia baca, segala yang ia ceritakan dengan penuh percaya diri tanpa cela di depan teman-temannya adalah segala fantasinya terhadap Yongki.” (Ayu, 2004: 115). Dalam hal ini, bagi Nai, tiada gunanya untuk merasa malu dan gengsi. Malu dan gengsi merupakan musuh bagi keberhasilan dan virus untuk menyerah.
Setidaknya, animus-nya mendorong dirinya agar teman-temannya dapat memperlakukan dirinya sebagai manusia yang juga memiliki martabat sebagai manusia. Pengakuan ini penting baginya mengingat dalam kesehariannya dia bukan berasal dari kelas social yang sepadan dengan teman-temannya. Pengakuan itu akan menghancurkan konstruksi social teman-temannya terhadap dirinya, yang dalam banyak hal bersumber dari kondisi payudaranya yang kecil. Jika dia diakui oleh teman-temannya sebagai manusia, dia tidak dilecehkan akibat payudaranya yang kecil, melainkan dilihat dari prestasi apa yang mampu dia tunjukkan.

Wise Old Woman
Tahap individuasi berikutnya adalah wise old woman, yakni personifikasi prinsip spiritual, yang merepresentasikan pengetahuan, refleksi, kearifan, kepandaian, dan intuisi pada satu sisi dan, pada sisi lain, kualitas-kualitas moral seperti kebaikan hati dan kesiapan untuk membantu, yang membuat karakter ‘spiritual’nya cukup seimbang. Tahap ini tampak ketika Nai pada akhirnya tak berhasil mendapatkan perhatian Yongki (Ayu, 2004: 116). Dalam hal ini, dia menyadari bahwa Yongki bukanlah pemuda yang mencintainya, yang bersedia menerima Nai apa adanya: gadis berpayudara kecil yang miskin. Nai menerima kenyataan bahwa dirinya memang memiliki kekurangan di mata teman-teman lelakinya, namun sekaligus bangga bahwa kekurangan itu justru sering menyelamatkan dirinya dari “incaran tangan-tangan usil” anak laki-laki (Ayu, 2004: 107) atau dari “tatapan spontan semua orang yang memandang kea rah payudaranya” (Ayu, 2004: 109)—singkatnya menyelamatkannya dari berbagai bentuk pelecehan seksual.
Di samping itu, meski tak berhasil mendapatkan Yongki, Nai mampu membuktikan kepandaiannya dalam bertutur cerita, dan cerita yang disampaikannya sangat menghibur teman-temannya. Terlepas dari apakah isi ceritanya, Nai mampu menundukkan mitos betapa sulitnya bercerita, karena banyak orang merasa mampu bercerita lebih baik, padahal yang bersangkutan tak mampu bercerita apapun juga (Ayu, 2004: 116). Pada saat yang sama, Nai tampaknya juga hendak membuktikan bahwa bercerita yang memikat akan mampu memberikan efek bius yang luar biasa terhadap orang-orang sekitarnya.
Lebih dari semua itu, Nai menyadari untuk menerima dirinya apa adanya, tanpa kurang dan tanpa lebih, meski “payudaranya tetap tidak tumbuh” (Ayu, 2004: 116). Dia sadar, payudara bukanlah ukuran kualitas perempuan, itu hanya persona yang tampak dari luar. Yang sejatinya menentukan kualitas perempuan adalah seberapa berani dia mengakui segala kekurangan-kelebihannya dan menyumbangkan segala potensi keperempuanan yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain. Dan hal ini telah dia buktikan terhadap teman-temannya, terutama “jasa”-nya dalam menghibur dengan cerita-cerita rekaan yang disampaikannya.

Self
Dalam cerpen in Nai Nai telah menemukan persona, shadow, animus, dan wise old man-nya. Arketipe-arketipe ini berproses dalam diri Nai. Berbagai unsur kekuatan luar dirinya yang telah memposisikan dirinya inferior, didasari kemampuan internal untuk menundukkan kelemahan, dan adanya keasadaran akan batas-batas kemampuannya menuju Self (Diri) yang utuh. Taraf ‘keutuhan’ kepribadian Nai ini tentu masih relative, maksudnya masih tetap berada dalam perkembangan mentalitas remaja yang selalu dinamis. Dalam proses individuasinya, ego-nya kadang masih mewarnai ketaksadaran kolektif dan ketaksadaran personalnya.
Bagaimana pun juga, Nai telah secara perlahan  mampu mengalahkan ketakutan akan pikiran tak sadarnya tentang kekurangannya menyangkut kecilnya payudara yang dimiliki, kemudian mengurangi peran persona-nya dalam mendominasi kepribadiannya, lalu berani menyadari shadow-nya sendiri, dan kemudian memberanikan diri untuk menghadapi anima/animus-nya. Meskipun belum tuntas, Nai juga telah menemukan sisi terang di dalam sisi gelap hidupnya.

Konflik-Konflik dalam Proses Individuasi Nai Nai
Dalam menjalani proses idividuasi itu, Nai Nai tak lepas dari konflik-konflik yang menyertainya. Konflik-konflik itu banyak dialaminya ketika dia berada dalam tahap menemukan persona dan shadow-nya. Sejak awal Nai dijatuhkan mentalnya dengan julukan gadis berpayudara kecil. Dia berkonflik dengan Yongki dan teman-temannya, sehingga gerak pergaulannya terbatas seakan dikucilkan secara kejam (Ayu, 2004: 107-108). Konflik ini masih diperparah oleh adanya fakta bahwa kondisi social ekonomi ayahnya begitu lemah, sehingga dia merasa dipandang sebelah mata oleh teman-teman dan masyarakat.  (Ayu, 2004: 109). Setidaknya, dia tak mampu mengenyam kemewahan atan kenikmatan yang dienyam oleh teman-temannya.
Konflik Nai dengan Yongki sebenarnya lebih merupakan konflik tak kentara namun berkepanjangan. Ejekan Yongki yang begitu merendahkan menyebabkan Nai terobsesi untuk lebih keras membuktikan siapa dirinya di mata teman-teman dan dirinya. Obsesi inilah yang kemudian dia menemukan animus-nya: yakni imaji ayahnya. Justru dengan imaji animusnya inilah Nai berniat untuk melakukan sesuatu agar teman-teman menerima keberadaannya.
Dalam tahap menemukan tahap old wise woman Nai Nai juga mengalami konflik internal, melawan diri sendiri: antara mengejar Yongki habis-ahabisan dan berhenti memburunya serta menyadari segala hasil yang ada. Namun, pada akhirnya lebih banyak muncul proses menuju integrasi dan harmoni, termasuk bagaimana teman-teman Nai menerima Nai apa adanya dan bahkan intens mendengarkan cerita yang disampaikannya.
Adapun dalam menemukan Self-nya, meski belum sempurna, Nai tak kentara menunjukkan konflik tertentu. Dia telah mengalami penyadaran diri, menemukan kekurangan dan kelebihannya, sisi gelap dan sisi terang dalam hidupnya. Bisa dikatakan, konflik bathin yang dialaminya hampir tidak ada yang signifikan.

4.        Simpulan
          Dalam hidup ini setiap manusia hakikatnya mengalami proses individuasi, entah disadari atau tidak, karena manusia hakikatnya juga senantiasa berkembang dinamis dalam kehidupan bersama masyarakat yang dinamis pula. Sebagai manusia, Nai Nai juga mengalami proses individuasi sesuai dengan kadar kemampuannya sendiri, untuk menemukan siapa jati-dirinya.
            Dalam menjalani proses individuasinya, Nai Nai menunjukkan arktipe-arketipe yang berbeda-beda tingkat intensitasnya. Arketipe persona dan shadow-nya terbukti sangat menonjol karena keberadaannya yang agak labil dalam hidupnya. Animus-nya tumbuh ketika dia harus bertindak seolah-olah sebagai laki-laki yang hendak menundukkan lelaki yang disayanginya. Dalam tahap wise old woman dia menyadari bahwa dia harus menerima kenyataan memiliki payudara kecil, miskin, dan ditolak cintanya oleh Yongki, namun justru menghidupkan ‘tradisi’ bercerita (storytelling) di depan teman-temannya. Nai akhirnya juga menemukan Diri-nya, meskipun masih dalam taraf yang labil dan dinamis.
            Dalam menjalani proses idividuasi itu, Nai Nai tak lepas dari konflik-konflik yang menyertainya. Konflik-konflik itu banyak dialaminya ketika dia berada dalam tahap menemukan persona dan shadow, kemudian mengarah ke kondisi saat mengendalikan animus-nya, Sebenarnya, dalam tahap menemukan tahap old wise woman Nai Nai juga mengalami konflik internal, melawan diri sendiri secara hebat. Namun, pergulatan bathin ini memberikan pencerahan kurang signifikan bagi dirinya, sehingga dia belum menjadi Self-nya sendiri secara sempurna.
            Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa, jika ditinjau dari teori individuasi Jung secara ideal, Nai Nai memang belum sempurna dalam menjalani proses individuasi-nya. Hanya saja, berdasarkan karakterisasi Nai Nai yang kokoh dan strategi menghadapi berbagai macam konflik yang dialaminya, semestinya Nai Nai akan mampu menemukan Self-nya yang sesungguhnya.***


Referensi

Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu). Jakarta:
            Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Boeree, C. George. 2007. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda
Bersama Psikolog Dunia. Jogjakarta: Prismasophie.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2006. Theories of Personality. New York:
McGraw Hill.
Jung, C.G. 1968. The Archetypes and the Collective (2nd Edition). New Jersey:
Princeton University Press.
________. 1950/1959. Concerning Rebirth. In Collected Works (Vol. 9, Part 1).
________. 1950/1959. Archetypes and the Collective Unconscious. In Collected
Works (Vol. 9, Part 1).
Muller, Gilbert H. dan John A. Williams. 1985. Introduction to Literature. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Perrine, Laurence. 1983. Structure, Sound, and Sense (4th Edition). New York:
Harcourt Brace Javanovic.
Welleck, Renee dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusateraan. Jakarta: P.T.
            Gramedia Pustaka Utama.
http://www.soul-guidance.com/ houseofthe sun/individuationprocess.htm/, download
27 Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar