Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Sabtu, 08 Januari 2011

DOA GURU UNTUK SISWA

Tutut Guntari
Menjelang ujian nasional (unas) beberapa waktu lalu, ada fakta yang menggelitik dunia pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Diknas, yakni digelarnya istighosah (doa bersama) di sejumlah daerah misalnya Pasuruan, Gresik, Tuban, dan Jombang. Tujuannya, agar siswa memperoleh kemudahan, kelancaran dan kesuksesan dalam menghadapi unas.
Mengapa menggelitik? Meski tahun lalu, fakta sama telah tumbuh, animo beristighosah tahun ini begitu tinggi, menyebar ke berbagai daerah. Lepas apakah kegiatan itu berbau politik atau tidak, istighosah itu merupakan representasi kekhawatiran dan harapan guru dan siswa menghadapi unas.
Guru khawatir para siswanya tidak lulus unas, dan itu berarti memerosotkan kredibilitas sekolah bersangkutan. Sementara siswa khawatir gagal unas yang dilakoninya, dan itu berarti “kiamat” (malapetaka) bagi kelanjutan studinya. Maka, kekhawtiran itu mereka balut dengan ketebalan harapan untuk lulus, dengan memanjatkan doa dan tawakkal kepada-Nya.

Doa Guru, Terlupakan?
            Gejala beristighosah di kalangan siswa pedidikan dasar dan menengah tersebut sejatinya, selain menggembirakan, juga mengindiksikan satu sisi yang sering terlupakan oleh guru—yakni, mendoakan siswa-siswinya sepanjang pendidikan di sekolah.
Suatu ketika penulis lontarkan pertanyaan ke sejumlah guru, apakah mereka pernah mendoakan siswanya? Respons mereka beragam namun mengarah ke satu kesimpulan, bahwa mendoakan siswa itu sebagai sesuatu yang selama ini terlupakan. Gagasan penulis tentang mendoakan siswa sering mentok karena dianggap cukup absurd dan nyeleneh. Mengapa repot-repot mendoakan siswa segala sih?
Terus terang, kita para guru barangkali telah melupakan esensi hubungan kita dengan siswa. Kebanyakan kita berasumsi hanya bertugas mentrasfer ilmu kepada siswa dengan mengaksentuasi lebih pada pendekatan teach (mengajar), dan bukan pada educate (mendidik). Karena itu, guru lebih diidentikkan dengan ‘pengajar’ (teacher), bukan ‘pendidik’ (educator).
Mengingat guru itu sebuah profesi yang mengajarkan sesuatu, kita sering terlena hanya berkutat dengan dimensi kognisi dan psikomotorik siswa, dan kurang memperhatikan dimensi afeksi-bathiniah mereka. Kondisi inilah yang ikut menyebabkan renggangnya hubungan guru-siswa. Hubungannya bersifat hirarkis sebagaimana patron-klien, bukan sebagaimana orangtua-anak yang penuh kasih sayang.
Lemahnya hubungan emosional guru-siswa semacam itu menyokong bagaimana guru menghadapi siswa ‘bermasalah’, entah lambat belajar, suka menggoda, suka membolos, terjerat NAPZA, dan lain-lain. Kita sering mendekati mereka dengan cara-cara kognitif persuasif atau, jika kebablasan, dengan pemberian sanksi dan hukuman.
Penulis sama sekali tak hendak menganggap klasik apa yang telah dilakukan guru dalam menghadapi siswa bermasalah. Namun, kita sadar bahwa ada kasus-kasus siswa yang kerap membuat guru kehabisan cara untuk diterapkan. Maka, untuk melengkapi segala upaya itu, penulis mengajak para guru untuk mendasari tugas kita dengan panjatan doa.

Becermin ke Pesantren
Terus terang, kita perlu becermin pada kehidupan pesantren. Lembaga pendidikan yang sering dilabeli ‘tradisional’ ini justru mencerminkan hakikat pendidikan yang sejati. Hubungan kiai atau ustadz dengan para santrinya sepadan dengan hubungan orangtua dengan anaknya. Ada hubungan bathiniah yang amat rekat.
Mungkin proses belajar santri tak jauh berbeda dengan siswa di sekolah formal. Namun, ada satu hal yang sangat istimewa di pesantren. Yakni, kebiasaan kiai atau ustadz mendoakan para santrinya dengan khusyu dan sungguh-sungguh. Silakan buktikan kapan saja mereka mendoakan para santrinya.
Boleh jadi setiap usai shalat lima-waktu, shalat malam, dan bahkan setiap waktu kiai atau ustadz rajin mendoakan santrinya. Sebagai orangtua, mereka mendoakan ‘anak-anak’-nya agar mudah menerima ilmu, agar dijauhkan dari segala gangguan dan cobaan, agar kelak menjadi manusia berguna bagi nusa-bangsa dan agama, dan sebagainya.
Jika tanpa dorongan doa, sejalan dengan berbagai upaya manusiawi, mana mungkin santri-santri yang semula berkemampuan pas-pasan akhirnya menjadi kian cerdas dan arif. Bahkan, jika tanpa semua itu, mana mungkin bekas preman, pecandu NAPZA, dan kriminal sekalipun akhirnya kembali menjadi orang-orang pilihan.
Kita juga tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa banyak pemimpin negeri ini yang ternyata jebolan pesantren. Inilah bukti konkret bahwa pendidikan pesantren, yang tak pernah lepas dari doa-doa kiai atau ustadz, memiliki keunggulan (excellence) tersendiri, bukan hanya kesalehan kognitif melaikan juga kesalehan sosial dan emosional.
Boleh saja kita guru pendidikan formal merasa lebih baik daripada mereka yang ada di pesantren. Klaim itu sangat sah. Akan tetapi, kita toh wajib mengakui bahwa guru-guru formal (Diknas) ketinggalan jauh dalam hal mendoakan anak-didik kita. Seperti disinggung di awal tulisan ini, kebanyakan guru telah melupakan kebiasaan mendoakan siswa.
Lalu, mengapa kita perlu mendoakan siswa? Pertama, mendoakan siswa merupakan wujud empati (pelibatan emosional) guru terhadap siswa, terlebih jika siswa itu bermasalah. Jika tak cukup dengan terapi kognitif, doa-lah yang merupakan terapi bathiniah, yang kekuatannya jauh melampaui kemampuan manusia.
Taruhlah kita telah menyelami kesedihan siswa karena meninggalnya orangtua, misalnya, namun lazimnya empati kita terhadapnya kebanyakan masih berkisar pada bagaimana menghibur dan memotivasinya agar tetap tabah dan tawakkal. Empati kita dalam wujud doa, khusus untuk dia, agak jarang kita berikan dengan sungguh-sungguh.
Kedua, otak manusia itu terbatas, sedang keluasan bathin (nyaris) tak terbatas. Artinya, siswa yang lambat belajar tidak cukup dicekoki dengan bertumpuk pelajaran yang harus dikuasainya, atau digenjot dengan bimbingan belajar untuk mengakselerasi pemahamannya.  Hal ini malah akan memperkeruh keadaan, karena siswa itu bisa mengidap depresi dan keputusasaan akibat keterbatasan daya-tangkap otaknya.
Keterbatasan daya-tangkap otak semacam itu harus ditunjang dengan pendekatan bathiniah juga, yakni berupa doa-doa. Keluasan bathin inilah yang harus kita beri sentuhan. Manjurkah? Kekuatan doa itu maha-dahsyat. Bukankah sejak kita berada di dalam kandungan orangtua kita telah mendoakan kita dengan doa-doa terbaik sehingga kita bisa mengenyam buah doa-doanya sekarang ini?
Ketiga,  kekuatan doa, karena berada di dalam dimensi bathiniah yang begitu luas, mampu menanamkan pemahaman ilmu ke dalam lubuk hati. Ilmu tertanam kuat bukan hanya kuantitasnya, melainkan juga kualitasnya, berkat sentuhan tangan Tuhan. Dia-lah yang menguasai segala ilmu dan menanamkan benih-benih ilmu kepada hamba-Nya.
Juga dengan kekuatan doa, kita berharap ‘kekerasan hati’ siswa menjadi lunak dan menemukan kesadaran yang sebenarnya.  Dengan doa-doa guru, siswa yang suka menggoda, suka membolos, terjerat NAPZA, dan lain-lain tak mustahil akan sembuh. Bukankah doa-doa kiai atau ustadz menyadarkan santri-santri yang bekas anak-anak bandel menjadi manusia-manusia pilihan?
Karena itu, penulis mengajak sesama guru untuk kembali mendoakan para siswa kita, di samping memberikan pelajaran sebaik-baiknya. Untuk segenap siswa, kita berdoa agar diberi pemahaman yang optimal atas ilmu yang kita berikan, bukan hanya kuantitasnya melainkan juga kualitasnya—yakni, gugusan ilmu yang mencerahkan!
Untuk siswa yang malas, kita doakan agar terbuka kesadaran akan masa depannya, agar melihat bahwa masa depan harus direncanakan, diperjuangkan, dan dimenangkan. Kita doakan agar tersingkap tabir kemalasannya, bahwa kemalasan itu biang kegagalan dan musuh kesuksesan. Kita doakan agar benih kerajinan tumbuh subur dalam benaknya.
Untuk siswa yang lamban belajar, kita doakan agar dikaruniai kecerdasan otak dan bathinnya sehingga ilmu yang diserapnya langsung menancap dan tumbuh subur bagai semaian kecambah di musim hujan. Kita doakan pula agar dikaruniai rezeki pemahaman yang andal, agar segala ketertinggalam mampu dikejar dan dilampauinya dengan penuh keyakinan.
Lalu, untuk siswa yang suka membolos, kita doakan agar dikaruniai kesadaran dan penyesalan terdalam bahwa membolos itu mubazir dan merugikan diri sendiri. Kita doakan agar dibuntu dan ditutup rapat kilah (excuse) untuk membolos. Kita doakan pula agar diringankan hati dan langkahnya untuk pergi ke sekolah dan menuntut ilmu dengan sepenuh hati.
Bagi siswa yang menghadapi kesulitan ekonomi, kita doakan agar (orangtuanya) dikaruniai solusi secepatnya dengan rezeki yang tak terduga. Kita mohonkan agar rezeki yang dekat segera ditampakkan, yang masih jauh didekatkan, yang masih di langit segera diturunkan, yang masih di dalam perut bumi segera dikeluarkan, serta segala urusannya selalu dimudahkan.
Bagi siswa yang terjerat NAPZA, kita doakan agar dikaruniai kelembutan hati untuk menyadari bahwa NAPZA itu merusak dan harus ditinggalkan selamanya. Kita doakan pula agar kuat mengalami terapi pasca-kecanduan, dan diselamatkan dari berbagai gangguan dan ancaman pihak-pihak yang semula menjadi komunitasnya. Lalu, kita doakan agar ditemukan kesungguhan untuk meniti jalan lurus menuju kehidupan lebih bermanfaat.
Pendek kata, seluruh permasalahan siswa, baik akademik maupun non-akademik, harus kita dorong dengan kekuatan doa-doa kita. Doa-doa kita mudah-mudahan memberikan solusi tak terduga bagi berbagai permasalahan siswa. Dan untuk semua itu, kita harus yakin akan doa-doa yang kita panjatkan. Insya Allah.***
(Catatan: Tulisan ini Dimuat di majalah Mimbar Pembangunan Agama (Depag Jatim), edisi No. 261, Juni 2008)

2 komentar:

  1. Bagaimana menurut pendapat Anda? Saya tunggu komentar Anda. Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Gagasan yg bagus, sesuatu yg banyak dilupakan orang, termasuk guru2 yg hanya "mengajar" dan bukan mendidik. Salam

    BalasHapus