Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Sabtu, 08 Januari 2011

Diklat Profesi Guru Depag: BAHASA INGGRIS DALAM ANTUSIASME DAN APATISME


Tutut Guntari
Puluhan guru bahasa Inggris MTs/MA—hanya sebagian dari lebih 50% guru yang gagal dalam uji portofolio sertifikasi (Musfiqon, MPA Des.2007)—mengikuti diklat Profesi Guru (PLPG) yang dilaksanakan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), 2-9 Januari 2008. Dari kesan sejumlah peserta dan instruktur, mereka memancarkan antusiasme, sekaligus memendam apatisme mendalam.
Antusisme itu tampak dalam kesadaran mereka untuk meningkatkan kualifikasinya. Mereka sadar belum memenuhi butir-butir portofolio, yang meliputi: kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, serta penghargaan relevan di bidang pendidikan (Majalah Unesa, Agustus-September 2007). Mereka bertekad untuk mengejar segala ketertinggalan.
Mereka sadar, seorang guru harus memiliki kualitas yang andal, baik pengetahuan maupun ketrampilan. Selain meningkatkan kualitas pembelajaran, mereka juga masih harus tahu persis tentang kebijakan pendidikan, menyelami budaya asing (Inggris), dan melakukan kegiatan ilmiah, termasuk meneliti dan menulis artikel ilmiah. 
Memang, selama diklat PLPG 9 hari penuh itu para guru digembleng dalam berbagai materi: (1) kebijakan pendidikan, (2) penulisan karya lmiah, (3) empat ketrampilan bahasa Inggris (listening, speaking, reading, writing), (4) pemahaman lintas budaya, (5) model-model pembelajaran bahasa, (6) penilaian/asesmen pembelajaran, (7) penelitian tindakan kelas dan workshop-nya, (8) rencana pelaksanaan pembelajaraan dan workshop-nya, dan (9) pengajaran teman sejawat (peer-teaching) sebanyak tiga kali. Terlebih dengan materi yang up-to-date, mereka merasakan pencerahan. 
Meski waktu sependek itu dirasakan mustahil menguasai tuntas seluruh materi, toh mereka masih optimistik untuk mendalami dan mengembangkannya pasca-diklat. Masih terbentang waktu panjang bagi mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan profesinya sebagai guru bahasa Inggris.
Dalam perspektif ini, kita berharap pembelajaran bahasa Inggris di sekolah atau pesantren di lingkungan Depag akan menemukan prospek cerah, entah kapan impian ini bakal terwujud. Setidaknya, puluhan guru bahasa Inggris tersebut, asalkan tetap dikondisikan untuk menjaga antusiasme-nya, akan berperan sebagai obor pencerahan di tengah kelesuan pembelajaran bahasa asing itu di lembaga-lembaga (tradisional).
Namun, di balik antusiasme yang membara itu sejatinya juga tersimpan apatisme yang dalam juga. Ketika ditanyakan seberapa signifikan materi diklat bagi mereka per pribadi, jawaban mereka selalu mengarah ke pengakuan yang positif. Akan tetapi, mereka cenderung menunjukkan apatisme atau setidaknya keraguan saat ditanyakan,”Apakah pengetahuan dan ketrampilan diklat dapat diterapkan di lembaga tempat Anda mengabdi?”
Karena diklat itu sendiri juga kerap diwarnai metode sharing (berbagi) pengalaman, dalam berbagai sesi mereka menyampaikan kegusaran-kegusaran tertentu. Mungkinkah mereka mengimplementasikan apa yang telah diperolehnya selama diklat? Representasi kegusaran itu tampak dari berbagai kendala yang mereka tuturkan.
Pertama, kualitas input siswa MTs/MA, baik independen maupun bernaung di bawah pondok pesantren, dikatakan rendah. Mereka seakan “buangan” atau “luberan” dari sekolah-sekolah umum. Hanya sedikit persen siswa yang murni ingin masuk MTs/MA sejak semula mendaftarkan diri. Terlebih, masyarakat telanjur melabeli sekolah berbasis agama (Islam) sebagai tempat terapi anak-anak bandel.
Dengan input yang pas-pasan, guru terpaksa harus “kompromi” dengan kompetensi siswa. Seperti diketahui, dalam diklat guru menerima berbagai metode dan teknik pembelajaran bahasa Inggris termutakhir, katakanlah metode dan teknik yang termasuk Genre-Based Approach. Pendekatan ini menuntut keaktifan dan partisipasi siswa. Nah, betapa beratnya mengajarkan bahasa Inggris untuk siswa yang sama sekali belum mengenal bahasa Inggris?
Kedua, sikap bahasa/budaya dan motivasi siswa. Sikap dan motivasi belajar bahasa amat menentukan keberhasilan dalam menguasai bahasa (Krashen, 1987). Masalahnya, menurut pengakuan sejumlah guru, sikap bahasa siswa MTs/MA terhadap bahasa Inggris kebanyakan rendah. Siswa lebih mementingkan bahasa Arab misalnya. Prestise bahasa Arab jauh lebih tinggi dibanding bahasa Inggris. Bahasa Inggris itu hanya “bahasa dunia”, sedang bahasa Arab diklaim sebagai “bahasa akhirat.”
Terkait sikap bahasa adalah sikap budaya (cultural attitudes). Siswa, bahkan orangtua mereka, cenderung bersikap budaya negatif terhadap bahasa Inggris. Bahasa Inggris itu, katanya, bahasa orang kafir, Amerika atau Inggris sama saja—yang nota bene berbenturan atau “haram” bagi seorang muslim untuk mempelajarinya. Nilai dan produk budaya yang melekat dalam bahasa Inggris juga dianggap “haram” untuk diadopsi dan diadaptasi.
Tak sedikit siswa yang menganggap Amerika atau Inggris itu hanya berisi manusia-manusia yang menganut gaya hidup atheis, free-sexism (seks bebas), dan label-label negati lain termasuk memusuhi Islam. Seakan tak ada satu nilai baik yang tercermin dari orang Barat, semuanya brengsek! Mereka lupa, seburuk apapun seseorang, pastilah ada kebaikannya. Secara rasional, sikap budaya semacam itu agaknya berlebihan, namun begitulah kenyataannya.
Dengan sikap bahasa/budaya negatif itu, sulit diharapkan tumbuh dan berkembang motivasi siswa untuk belajar bahasa Inggris. Jika bisa pun, guru harus berjuang mati-matian untuk mengubah paradigma pikir siswa, tidak hanya lewat dalil-dalil, tapi juga lewat logika-logika yang mencerahkan.
Implisitnya, guru pasti kerepotan untuk menanamkan motivasi integratif (menguasai bahasa dan sekaligus budayanya)—padahal tesis belajar bahasa yang menemukan kesuksesan gemilang sejalan dengan penanaman motivasi integratif ini. Maka, paling banter, guru hanya mampu menumbuhkan motivasi instrumental—katakanlah, belajar bahasa Inggris untuk memahami wacana-wacana Barat agar mengantisipasi segala kemungkinan.
Kendala ketiga adalah kelas yang besar. Banyak peserta diklat bertutur, bahwa jumlah siswa per kelas ada yang mencapai 50-60 anak, terlebih di berbagai ponpes tradisional. Jumlah siswa sebesar itu sangat tidak ideal untuk pembelajaran bahasa. Ibaratnya, kelas gendut semacam itu, dengan teknik apapun, sulit untuk membuatnya bergerak lincah.
Sementara itu berbagai metode/teknik dalam GBA menuntut keaktifan siswa. Jika jumlah siswa overload, guru pasti kerepotan menguasai kelas, mengatur kekerasan suara, membagi giliran tugas, mengevaluasi keaktifan siswa, dan sebagainya. 
Keempat, selama ini guru di MTs/MA (terlebih di ponpes tradisional) bertindak sebagai pusat pembelajaran (teacher-centered learning). Guru sumber pengetahuan, dan berhak menentukan hitam-putihnya pembelajaran. Sifat komunikasi belajarnya hampir selalu top-down, dan siswa seakan haram memprotes gurunya (bottom-up). Maka, guru dianggap tak pernah salah (Teachers can do no wrong), dan hanya siswa yang boleh salah. Dan metode paling umum adalah ceramah dan tanya jawab.
Padahal, sekarang student-centered learning sudah berkembang, apalagi untuk pembelajaran bahasa (Inggris).  Belajar bahasa (Inggris) justru menuntut totalitas keaftifan siswa. Karena itu, kendala cukup besar dalam pembelajaran bahasa Inggris di lembaga pendidikan agama adalah: bagaimana mengubah paradigm “salah kaprah” yang memposisikan guru sebagai pusat proses belajar.
Kelima, lingkungan (bahasa) yang tak kondusif. Lingkungan bahasa tidak atau kurang mempeluangi siswa untuk mempraktikkan bahasa Inggris di dalam dan di luar kelas. Lingkungan personal (guru, siswa, petugas sekolah) dan non-personal (gedung, perpustakaan, taman, kantin, dan sebagainya) lebih berpihak pada bahasa Arab. Praktik komunikasi dalam bahasa Inggris nyaris tak mungkin terjadi.
Dan keenam, yang paling mendasar, adalah kebijakan bahasa di sekolah atau ponpes tradisional. Kebijakan itu linier dengan visi-misi sekolah bersnagkutan. Yang menyedihkan, hanya sedikit sekolah yang, karena kebijakan bahasanya, memungkinkan siswa mempraktikkan bahasa Inggris. Tanpa kebijakan bahasa yang kondusif, sulit diharapkan langkah-langkah kongkret untuk “membudayaan” wicara bahasa Inggris.
Ponpes modern Gontor Ponorogo hanya sebuah contoh lembaga yang kebijakan bahasanya tegas. Santri harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia , di samping tentu bahasa Arab. Polisi bahasa, bisa dari guru bantu, dapat memberikan  teladan dan model , yakni mempraktikkan bahasa Inggris. Dan kita tahu, ponpes Gontor berimej cemerlang sabagai lembaga multi-bahasa.          
            Berbagai kendala di atas benar-benar sedang berkumpar-kumpar di kepala para guru bahasa Inggris yang telah mengikuti diklat PLPG. Jika diperhatikan, enam kendala besar tersebut hakikatnya harus segera diatasi secara cerdas, agar guru bahasa Inggris di MTs/MA mampu meretas jalan untuk implementasi materi diklat di lembaga tempat mereka bekerja atau mengaabdi…
Harapan besar yang diidam-idamkan para guru peserta diklat adalah mereka berpeluang untuk mengembangkan apa yang diperolehnya selama diklat. Mereka umumnya ingin mengubah kendala-kendala di atas sebagai tantangan yang harus dijawab dengan solusi terbaik. Dengan kata lain, mereka ingin tetap menjaga antusiasmenya, dan sekaligus ingin mengubah apatismenya menjadi optimisme yang membara.
(Dimuat di Mimbar Pembangunan Agama (Depag Jatim) Edisi No 257 Februari 2008)

2 komentar:

  1. Sebuah cermin yang seyogianya dijadikan pelajaran dan renungan bagi insan-insan pendidikan di negeri ini. Bagaimana menurut Anda? Tmksh.

    BalasHapus
  2. Ada wajah pendidikan kita yang bopeng ya? Mdh2an segera membaik. Bravo

    BalasHapus