Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Kamis, 20 Januari 2011

MEMBACA KUMCER AZHARI, LAN FANG, TAMARA GERALDINE, dan DJENAR MAESA AYU


Tutut Guntari
Pengantar
Membaca karya sastra, dalam hal ini cerita pendek (cerpen), merupakan kegiatan menafsirkan, memboboti (menilai), dan memberikan makna atas karya sastra itu. Mengingat karya sastra senantiasa bersifat  ‘terbuka untuk ditafsirkan’ (open to interpretation), hasil penafsiran bisa bervariasi antara satu pembaca dan pembaca lain. Pada posisi inilah saya memijakkan pembacaan saya terhadap kumpulan cerpen Azhari (Perempuan Pala), Lan Fang (Yang Liu), Tamara Geraldine (Kamu Sadar Saya Punya Alasan untuk Selingkuh kan, Sayang?), dan Djenar Maesa Ayu (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu).

Berdasarkan pijakan di atas, saya mencoba menafsirkan dan memboboti setiap kumpulan cerpen terutama menyangkut aspek tematis atau ekstrinsiknya, dengan memanfaatkan aspek intrinsik sastra (karakterisasi, plot, setting, sudut pandang, tema, dan lain-lain). Secara spesifik, dari setiap kumpulan cerpen, saya mencoba memilih mana cerpen “terbaik”, apa alasan pemilihannya, dan diarahkan pada pengungkapan “warna” pengarang. Khusus untuk warna pengarang, selain merujuk ke cerpen pilihan, saya juga membuat inferensi (simpulan) dari cerpen-cerpen lainnya.

Pemetaan

Setelah menekuni kumpulan cerpen Azhari, Lan Fang, Tamara Geraldine dan Djenar Maesa Ayu, saya dapat petakan hasil pembacaan saya dalam table berikut ini:

No
Pengarang
Jumlah
Cerpen

Judul Cerpen Terpilih

Alasan Pemilihan

Warna Pengarang
1
Azhari
13
Perempuan Pala
Dikemas dalam struktur dan alur cerita yang gamblang, cerpen ini menggambarkan hadirnya nilai lokalitas (berupa mitos) dan sejarah kekerasan hidup dikaitkan dengan kekinian. Dengan gagasan cerita yang wajar, penyajian yang padat dan memikat, pembaca seakan “menyaksikan” apa yang dialami oleh perempuan pala (Mala), sekaligus menghayati pergulatan bathinnya. Pembaca juga diajak menyelami konflik bathin si pewaris kebun pala dalam menjalani hidup yang penuh kegetiran masa lalu.  
Azhari konsisten menggarap lokalitas masyarakat Aceh beserta jejak sejarah kekiniannya. Selain nilai-nilai subkultur lokal (mitos), Azhari juga mengemas   peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang ganas dan memilukan sebagai sumber penciptaan bagi cerpen-cerpennya.
Nilai-nilai subkultur tercermin, misalnya, dalam cerpen “Ikan dari Langit”, “Perempuan Pala”, “Orang Bernomor Punggung”, “Pengunjung”, “Hujan Pertama”, “Menunggu Ibu”, atau “Hikayat Asam Pedas.” Sementara peristiwa kemanusiaan yang ganas tampak, misalnya, dalam “Yang Dibalut Lumut”, “Kenduri”, atau “Menggambar Pembunuh Bapak”

2
Lan Fang
15
Yang Liu
Cerpen ini merupakan representasi dari gagasan Lan Fang tentang pelbagai sisi problematika dan kerumitan hidup perempuan (keturunan Cina) yang termarginal-kan dan di-lain-kan akibat struktur sosial yang “kejam” secara rasial dan seksis. Hidup sebagai perempuan terasa penuh liku. Yang Liu digambarkan sebagai makhluk yang mendapatkan takdirnya untuk berjodoh dengan kekecewaan dan hidup pada situasi yang termarginalkan.
Lan Fang mengangkat isu marginalisasi dan ketertindasan rasial dan seksis oleh struktur sosial yang patriarkal terhadap perempuan Cina. Perempuan harus menelan kekalahan “nasib” yang dikonstruksi oleh struktur sosial itu. Selain itu, suasana mitologis (Cina) juga mewarnai cerpen-cerpennya, terutama “Yang Liu”, “Gong Xi Fat Chai”, dan “Bayi ke Tujuh”.  Karena itu, kumpulan cerpen ini sebentuk perjuangan kritis dan penyadaran. Ada semacam politik gender yang perlu diperjuangkan. Hal ini tampak kental di dalam cerpen “Rumah Tanpa Cermin.”

3
Tamara Geraldine
12
Kamu Sadar Saya Punya Alasan untuk Selingkuh Kan, Sayang?
Cerpen ini secara gamblang menggambar-kan semacam “pembron-takan” perempuan atas “lumrahnya” perselingkuhan dengan berbagai alasan. Jika lazimnya perselingkuhan dimulai dari pihak suami, maka lewat tokoh “aku” dalam cerpen ini, Tamara menyentak kita bahwa perempuan pun berhak sama untuk berselingkuh dengan laki-laki yang dipilihnya. Dengan kata lain, perempuan harus punya pilihan untuk menunjukkan jati diri dan keakuannya.

Tamara mengangkat pelbagai ironi situasi atas kegelisahan dan kemunafikan yang banyak dialami keluarga (masyarakat) menengah ke atas dan setting kekotaan. Dia mengajak pembaca untuk merenungi kembali fenomena degradasi moral yang mengumpar di dalam berbagai sisi kehidupan. Secara mendasar, Tamara juga menyuarakan perjuangan kesetaraan gender.
4
Djenar Maesa Ayu
11
Menyusu Ayah
Cerpen ini merupakan bentuk perlawanan seorang (anak) perempuan terhadap laki-laki (Ayah, teman-teman Ayah, dan teman laki-laki sebaya). Sejauh perlawanan itu bertujuan menyejajarkan posisi antara laki-laki dan perempuan, maka hal itu sangat bisa diterima dan bahkan perlu didukung. Tapi, ketika perlawanan itu hanya mengubah posisi inferior (tertindas) menjadi “penindas (superior), maka perlawanan itu hanya omong kosong. Kalimat “Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati” merupakan anti-tesis dari ucapan Ayah-nya,”Bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati laki-laki.” Yang lebih detil juga bisa dibaca dalam ungkapan ini: “Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan daya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.” (hlm. 35-43)
Djenar mengangkat satu dunia yang dipadati menusia terluka, marginal, dan terkhianati. Masyarakat yang sakit! Tiada pijakan kokoh dalam dunia ini. Komitmen dapat berubah setiap saat, ikatan tidak mengikat, dan logika tak punya validitas (kesahihan). Tokoh-tokoh cerpen ini hampir semuanya penuh paradoks, tercipta dari lingkungan yang brutal. Djenar mengekspresikan ide-idenya lewat bahasa yang (cenderung) vulgar dan blak-blakan; sehingga bagi sebagian pembaca, cerpen-cerpennya lebih banyak “merangsang kelamin” daripada “merangsang pemikiran dan nurani.”
Meski demikian, secara mendasar, Djenar juga memperjuangkan politik kesetaraan gender.



Diskusi
Jika dibandingkan dengan Lan Fang, Tamara Geraldine, dan Djenar Maesa Ayu yang hakikatnya mengumandangkan penyadaran untuk diterimanya kesetaraan gender, Azhari cukup berbeda. Azhari lebih banyak mengungkap nilai-nilai lokalitas masyarakat Aceh beserta jejak sejarah kekinianny. Kumpulan cerpennya Perempuan Pala tak sepenuhnya permainan imajinasi melainkan serupa serangkaian catatan yang teramat hidup oleh seorang putra Aceh yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang hangat maupun kejadian-kejadian yang ganas yang terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Selain menyuguhkan kisah-kisah konflik yang penuh kekerasan antara “orang gunung” dan tentara maupun peristiwa sarat intrik pengkhianatan demi mencari keuntungan materi yang mengorbankan saudara sendiri, Azhari juga banyak menghadirkan  pernik kepercayaan lokal (lokalitas), cara mereka memandang dunia, maupun khazanah kearifan tradisional yang hidup dalam masyarakat setempat beserta detail tata sosialnya yang unik dan jarang diketahui oleh kalangan masyarakat yang lain.
Selain itu, Azhari juga menempatkan sosok ibu atau bapak sebagai tokoh yang menjadi pilar besar bagi keseluruhan cerita. Mereka menjadi semacam obsesi bagi sejumlah tokoh di dalam cerita-cerita ini. Ini bisa diartikan bukan hanya sebuah pilihan penokohan dalam gagasan cerita. Sosok ibu atau bapak ibarat simbol kekerabatan yang paling dekat tempat calon-calon manusia dewasa untuk menggali dan menuai nilai- nilai kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Ibu dan bapak adalah sosok yang penting sebagai penurun dan penjaga silsilah beserta segala muatan tradisinya.
Sementara itu, Lan Fang, dalam menyuarakan politik gender, menampilkan  harapan tokoh-tokoh yang mengalami kerumitan hidup dan kekecewaan yang pahit. Hidup sebagai perempuan terasa penuh liku apalagi perempuan keturunan Cina yang minoritas seringkali lebih pahit karena terpinggirkan. Pandangan stereotip yang berkembang menganggap hidup mereka seperti dalam sangkar emas. Karena, secara ekonomi mereka hidup lebih baik; tetapi pada kenyataannya tidak semuanya sama seperti yang dibayangkan. Sepertinya klise, tetapi, pada prakteknya pandangan miring yang stereotip tentang ‘keberuntungan’ merekalah yang lebih mengemuka dan pada akhirnya menyulut sentimen ekonomis dan rasialis.

Di hampir semua cerpen, kebanyakan tokoh wanitanya digambarkan sebagai mahluk yang mendapatkan takdirnya untuk berjodoh dengan kekecewaan dan hidup pada situasi yang termarginalkan. Lan Fang (dalam cerpen “Yang Liu )” akhirnya, dengan kepasrahan atas perhitungan (ramalan) Cina, menyerahkan nasibnya kepada ramalan bahwa dia akan selalu berjodoh dengan kematian. Pada kenyataannya, adalah suatu kebetulan bahwa dari semua lelaki yang mencintainya berakhir dengan kematian. Pada ia akhirnya berketetapan untuk menjadi perawat mayat.
Tema tentang terpinggirkannya perempuan mungkin masih menarik untuk diangkat ke permukaan, sebagai bentuk perjuangan kritis dan penyadaran yang terus menerus. Kali ini, penulis tidak sekedar bermain dengan isu perempuan yang secara kultural masih terpinggirkan, dan dilainkan. Tetapi, juga mengangkat isu bahwa pada kenyataannya tak semua warga keturunan Cina itu kaya dan beruntung. Memang, kedekatan dan kemampuan mereka pada dunia usaha dengan corak kapitalistiknya seringkali menimbulkan kecurigaan rasialis.
Pada wilayah politik gender, alteritas mengkonstruksi perempuan sebagai yang Lain yang mana secara tradisional perempuan dianggap sebagai segala sesuatu di mana laki-laki tidak demikian, lebih jauh laki-laki adalah sebagai segala sesuatu di mana perempuan tidak mampu lakukan. Perempuan mengalami alteritasnya tidak hanya dalam perbedaan kelamin dan posisi gender; tetapi juga terkait dengan latarbelakang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan ketidakmampuan fisik ataupun psikologis.
 Secara keseluruhan mungkin apa yang coba diungkap oleh penulis barangkali tergambar pada cerpen Yang Liu, yang dijadikan judul utama kumpulan cerpen ini. Sebagai perempuan dalam ruang lingkup alteritas, memberi warna dan kecantikan. Merawat kematian kemudian memaknainya dengan lebih adalah barangkali hal terakhir yang bisa dilakukan agar setidaknya hidupnya punya essensi. Meskipun dalam sudut pandang tertentu hal ini bisa diartikan sebagai bunuh diri secara mentalitas, tetapi, setidaknya lebih baik daripada bunuh diri secara fisik.
Tamara Geraldine, dalam menyuarakan politik gender, mengangkat pelbagai ironi situasi atas kegelisahan dan kemunafikan yang banyak dialami keluarga (masyarakat) menengah ke atas dan setting kekotaan. Berbagai penyimpangan perilaku yang secara normatif tidak wajar diungkapkan dalam hampir semua cerpennya. Salah satu fenomena yang cukup jamak, yang digambarkan begitu gamblang, adalah tentang perselingkuhan, dan perilaku seks menyimpang, baik sederhana maupun serius. Dalam hal ini, Tamara  mengajak pembaca untuk merenungi kembali fenomena degradasi moral yang mengumpar di dalam berbagai sisi kehidupan.

Tak terkecuali generasi muda, seakan juga merupakan sasaran “warning” Tamara tentang ketidakberesan yang terjadi. Dia tampaknya ingin menanamkan benih-benih kesadaran akan arti hidup dan moralitas—meski penyampaiannya halus melalui cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang cukup akrab dengan anak muda, Tamara tampaknya ingin melakukan sesuatu terhadap sejarah kehidupan, termasuk kaum muda.

Dalam perbincangan ini, Djenar Maesa Ayu, identik dengan Lan Fang dan Tamara Geraldine dalam menyuarakan kesetaraan gender, merupakan pengarang yang paling vulgar, blak-blakan, apa adanya di dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan. Dia aduk-aduk dan bongkar borok-borok   masyarakat yang dianggapnya sakit. Tokoh-tokoh cerpen ini hampir semuanya penuh paradoks, tercipta dari lingkungan yang brutal. Dengan kondisi demikian, Djenar dengan leluasa menciptakan atmosfir cerita yang kerap memnyebabkan bulu kuduk merinding. Kevulgaran Djenar dalam gaya tuturnya merupakan refleksi dari pergolakan bathin yang menemukan outlet-nya. Di sanalah tersimpan gagasan-gagasan Djenar mengenai pentingnya mengakui kesetaraan gender—dan lebih dari itu, kesetaraan manusia.

Bahan Bacaan
Azhari. Perempuan Pala
Djenar Maesa Ayu. Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)
Lan Fang. Yang Liu
Tamara Geladine. Kamu Sadar Alasan Saya Selingkuh kan, Sayang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar