Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Kamis, 20 Januari 2011

MEMPERMAINKAN SUAP: Sebuah Kritik Sastra


Tutut Guntari
Prolog
            Salah satu cerpen menarik dalam 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 adalah cerpen “Suap” karya Putu Wijaya, salah budayawan besar di negeri ini, dengan 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama, serta berbagai penghargaan (http://www.duniasastra.com/biography putuwijaya.htm). Sebagai salah satu cerpen yang memperoleh Anugerah Sastra Pena Kencana, cerpen “Suap” menyuguhkan fenomena suap yang, diakui atau tidak, telah mengurat-berakar di seluruh lapisan masyarakat.
            Cerpen ini berkisah tentang seorang juri lomba melukis yang disuap oleh seseorang yang berharap agar perwakilan daerahnya dimemangkan. Pada awalnya tokoh ‘saya’ menolak, tetapi didesak dengan berbagai cara untuk menerimanya. Dua amplop uang suap, yang ditinggalkan penyuap, membuatnya gelisah dan melakukan tindakan-tindakan konyol, termasuk mencebur ke dalam kolam kotor untuk mencari amplop uang yang telah dilemparkan Ade, anaknya, ke dalamnya. Sementara itu, kondisi ekonomi keluarganya morat-marit, sehingga uang itu manjadi pertaruhan antara nurani dan kuasa uang. Pada akhirnya, pikirannya berubah, hatinya mau menerima suap itu, namun ketika dibuka, amplop itu hanya berisi sobekan-sobekan kertas putih. Karena itu, dia kalap, mencurigai bahwa uang dalam dua amplop itu telah diambil tetangganya yang kini sedang membangun rumah baru. Dan dia pun melempari rumah itu, sampai akhirnya dia dikeroyok beramai-ramai.
            Jika diperhatikan secara seksama, pengarang dengan kepekaan sosialnya, tampaknya, sengaja mengangkat fenomena suap ini lewat sebuah karya sastra—sehingga cerpen ini tak ubahnya representasi dari pengarang dalam kaitannya dengan suap. Pengarang, dengan bumbu-bumbu humornya, begitu meyakinkan mengemas ‘budaya’ suap dalam cerpen ini. Dalam konteks inilah kajian ini akan didasarkan pada kritik ekspresif (expressive criticism).
            Kritik sastra ekspresif berorientasi menghubungkan karya sastra dengan si penulis atau si pengarangnya (Suroso, 2009:27), atau menelisik sebagus apa pengarang mengekspresikan dirinya, visi dan perasaannya di dalam karya ciptaannya (http://wsu.edu/-delahoyd/crit.intro.html.) Tolok ukur kjeberhasilan karya sastra dianggap sebagai sarana curahan, luapan emosi, ucapan, proyeksi atau ekspresi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan persepsi, pikiran, dan perasaan yang dikombinasikan dalam suatu bentuk karya sastra. Titik berat kritik ini berpangkal pada latar belakang kehidupan pengarang, kesadaran budaya pengarang, wawasan budaya pengarang, proses kreatif pengarang, dan respon pengarang terhadap problem dasar kehidupan manusia. Dan semua ini hakikatnya dapat dilacak lewat karakterisasi, yang menurut Fellag (1993) lewat deskripsi langsung, deskripsi ujaran, pikiran atau tindakan, dan reaksi karakter lain terhadapnya.

Analisis dan Interpretasi
            Hal pertama yang mencolok adalah bagaimana pengarang menjadikan cerpen ini sebagai sarana curahan, luapan emosi, ucapan, proyeksi atau ekspresi pikiran dan perasaanya. Pengarang begitu gemas atas orang yang tak malu-malu melakukan suap. “Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap.” (hlm. 118). Sementara itu, penyuap pun tahu bahwa tokoh ‘saya’ akan goyah imannya kalau dihantam terus dengan iming-iming yang besar. Karena ‘saya’ belum pernah berpengalaman disuap, dia menjadi gelisah dan ragu-ragu: “..Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya perlu waktu dalam menolak…Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima maupun menolaknya.” (hlm. 121).
            Pengarang menyadarkan pembaca betapa suap itu manis dan melenakan, dan dapat membuat orang bertindak konyol, dan bahkan membuang rasa malu. Dalam kegelisahan agar amplop uang tak diketahui orang lain, tokoh ‘saya’ mengejar Ade dan mencebur ke kolam kotor untuk menyelamatkan amplop itu. Dia tidak peduli banyak orang menyaksikan kekonyolan dan tindakan bodohnya. (hlm. 121-122). Sampai di rumah pun, dia harus sembunyi-sembunyi dengan amplop uang suap, dan terpaksa berbohong pada istri dan anaknya.        
            Kegelisahan dilematis sedikit demi sedikit mulai menggeser pendirian ‘saya’ ketika dia terlalu lama bego. “Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh, malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok.” (hlm 123). Ungkapan ‘diam-diam punya keinginan menerima’ ini menunjukkan bahwa ‘saya’ mulai goyah, setidaknya sudah punya niat; sementara niat adalah sumber motif sebuah tindakan. Kalau keinginan atau niatnya menerima, kemungkinan besar dia akan menerimanya. Niat ada, tinggal tunggu kesempatan saja.
            Tumbuhnya niat terpendam untuk menerima suap itu didorong oleh kuatnya kuasa uang pada satu sisi dan kondisi social-ekonominya yang lemah di sisi lain. Dia tak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Terlebih lagi, uang suap sudah ada di tanggan. “Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka terpaksa harus diakui memang uang mampu menenteramkan.” (hlm. 125). Sementara itu, dia juga mengakui bahwa isterinya sudah terlalu capek hidup di kampong kumuh. Isterinya sudah lama menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bias ‘saya’ berikan. Bahkan “…isteri saya tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah serasa dihimpit oleh hina dan malu.”
            Dengan dalih untuk membahagiakan keluarga, apalagi banyak orang lain juga menerima suap, akhirnya tokoh ‘saya’, setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah ‘saya’ masuk penjara kalau dia memang terbukti nanti makan suap. Tapi, setidaknya, dia sudah dapat membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangganya. Dalihnya juga, mengapa orang lain boleh bahagia dan dia hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Baginya, jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum daripada dihukum karena kena suap tanpa sempat selembat pun menikmati manis suapnya. (hlm. 126).
            Justru saat dia memutuskan untuk menerima suap itu, isteri dan anaknya malah tidak mendukungnya, bahkan mempertanyakan kenekatan ‘saya’ dan menegaskan bahwa mereka tidak mengharapkan ‘saya’ untuk menerima suap. Di luar dugaan ‘saya’, isterinya justru tidak capek karena miskin—dia diam karena tidak mau memberati perasaan suaminya alias ‘saya’. Isterinya menandaskan tidak mau ‘saya’ memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatinya. Dia masih kuat menderita, katanya. Dia menyadari, masih banyak orang lain yang lebih buruk nasibnya.
            Ternyata, kebulatan ‘saya’ menerima suap itu tak terbayar oleh kenyataan manis, karena ternyata dua amplop yang dia simpan berbulan-bulan itu ternyata hanya berisi tumpukan kertas putih, bukan uang. Amplop yang telah memenjarakan bathinnya selama ini ternyata hanya berisi sampah kertas belaka (hlm. 128). Maka, meledaklah kemarahan ‘saya’. Dia gelap mata. Karena sebelumnya dia melihat tetangganya yang pendidikannya hanya potolan SMP  dapat memperbaiki rumah besar, maka dia mendadak mempunyai prasangka buruk, bahwa tetangganya lah yang telah mengambil uang dari dua amplop itu, dan menggantinya dengan tumpukan kertas putih. Dia mengumpat-umpat tetangganya di dalam hati. Dan prasangka menguat, dan tiba pada kesimpulan bahwa tetangga itulah yang telah menjarah uang dalam amplop coklatnya.
            Akhirnya, dengan gaya khasnya, pengarang meengungkapkan kekonyolan tokoh ‘saya’ yang telah telanjur dicap menerima suap dengan pengakuannya di depan umum, setelah dia melempari rumah tetangganya itu dengan batu-batu: “Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!” (hlm. 128). Pengarang menunjukkan bagian moral cerpen ini lewat pengakuan tokoh ‘saya’. Dia membuka topengnya di depan umum, sesuatu yang oleh umum semula mustahil dilakukan oleh orang semacam tokoh ‘saya’. Selain itu, dalam kondisi kalap, instink dasar manusia pun menguasai, menghilangkan status pendidikan atau status pekerjaan. Dia jadi manusia yang berhak marah, dan menumpahkan kemarahan dengan berusaha menghancurkan rumah tetangganya—suatu perbuatan tidak hanya merugikan diri sendiri melainkan juga orang lain.
            Begitulah, suap telah mengombang-ambingkan ‘saya’ bagaikan bola pingpong yang sedang dipermainkan. Tokoh ‘saya’ dipelantingkan dari suasana menegangkan yang satu ke yang lain, hingga puncaknya dia terjeblos dalam kondisi kalap dan marah dan mengamuk. Jika diperhatikan, pengarang secara perlahan-lahan (sejalan dengan alur cerita) hendak menyampaikan bahwa suap, bagaimana pun, akan mengirimkan seseorang ke pintu kehancuran, apa pun bentuknya—termasuk kehilangan kendali dan bahkan menjadi gila atau hilang ingatan.
            Lebih dari itu, pengarang hendak menyampaikan gagasan apa itu suap dalam konteks kekinian. Tokoh ‘saya’ secara faktual memang tidak menikmati uang suap, tetapi diduga menikmatinya, karena dia sempat “menerima” suap tersebut. Lewat ungkapan narator, pengarang menyatakan begini: “Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nati nurani dan merugikan orang banyak.” (hlm. 125). Suatu satire yang sangat menggelikan dan sekaligus memuakkan.
           
Epilog: Evaluasi Singkat
            Cerpen ini disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan dinamis yang memantulkan keluasan dan kedalaman faktual dan filosofis yang ingin disampaikan pengarang. Keserdahanaan dan kedinamisan bahasa ini mempeluangi terjembataninya komunikasi literer antara pembaca dan pengarang. Dengan bahasa demikian, pengarang agaknya mengharapkan agar pesan moral yang hendak disampaikannya benar-benar diterima dan/atau dipahami dengan baik oleh pembaca.
            Adapun pesan moral itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah betapa beragamnya cara tangan suap membelai, membisiki, membujuk, dan bahkan menghardik pembaca agar mau disuap. Pengarang menyuguhkan betapa suap telah menggugurkan keteguhan nurani tokoh ‘saya’ akibat begitu dahsyatnya manuver tangan-tangan suap. Suap mampu membuat manusia hilang kendali—dan sangat merugikan diri dan orang lain.
            Kekonyolan yang disuguhkan lewat tokoh ‘saya’ dalam menyikapi perilaku suap menunjukkan sebuah satire yang menggelikan, dan sekaligus memuakkan. Di sinilah pengarang mengajak pembaca untuk menertawakan suap yang terjadi dalam masyarakat sebagai sebuah sistem, padahal pembaca juga terbelenggu dalam sistem itu. Pengarang telah mempermainkan isu budaya suap untuk pembaca renungkan.     

Referensi

Fellag, L. Robinson. 1993. Life, Language, and Literature. Massachusetts: Heinle and Heinle
Publishers.

Suroso, Puji Santosa, & Pardi Sutano. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi.
Yogyakarta: ElmateraPublishing.

Wijaya, Putu. 2009. “Suap”. Dalam 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.


1 komentar:

  1. Nice Info! There are many people who wish to get the medicines online whether it is abortion pills or any other.

    Online Pharmacy Store in USA | Mifeprex Buy Online

    BalasHapus