Points to Ponder:

What is necessary to change a person is to change his awareness of himself. (Abraham Maslow)



Rabu, 02 Maret 2011

AYO BERANTAS ‘BUDAYA’ MENYONTEK


oleh Tutut Guntari
Penulis tak habis pikir mengapa setiap kali memberikan ujian, penulis hampir selalu mendapati siswa (berusaha) menyontek. Tak ayal, pengawasan ekstra-ketat pun dicurahkan, sambil sesekali mengelus dada. Saking gundahnya, penulis kerap bertanya, mungkinkah ‘budaya’ menyontek diberantas? 
Nyatanya, menyontek telah menjadi “budaya” (sebagian) siswa. Selagi tak siap menghadapi ujian, jurus mautnya adalah menyontek, yang penting mampu menjawab soal ujian. Bahkan bagi siswa malas, menyontek menjadi andalan paling utama.
Modus operandinya beragam: bertanya atau mengintip jawaban teman sekeliling, membuka buku (fotokopi catatan) yang diperkecil, bertukar jawaban lewat kertas, sms, atau bahasa tubuh tertentu. Singkatnya, apapun dilakukan, kadang ‘lebih maju’ ketimbang pengetahuan pengawas tentang menyontek.
 Begitulah, menyontek telah mirip tumor. Ia telah melebar dan meluas ke mana-mana, menggurita ke (hampir) seluruh level pendidikan. Jangankan siswa tingkat SD, SMP, atau SMA, mahasiswa (sarjana/pasca sarjana) pun tak lepas dari kasus menyontek.  Entah di institusi pendidikan umum, entah institusi berbasis agama, setali tiga uang.
Masalahnya, apa alasan mereka melakukannya? Sumber utamanya ketaksiapan siswa, ditunjang sikap mentalnya yang terjangkiti virus-virus korup. Sikap mental korup ini menjadi stimulator yang “menghalalkan” ketaksiapannya untuk berlaku curang dalam ujian.
Lalu, mengapa tak siap ujian? Pertama, siswa bergaya bossy dan malas belajar. Mereka lebih suka kongkow-kongkow daripada belajar. Kedua, siswa gagal mengatur waktu, namun merasa tak punya waktu. Belajar dan tugas pun ditunda-tunda, hingga terbengkalai. Ketiga, banyak pilihan hiburan (TV,  radio, chating, internet-an, dan sebagainya) sehingga terlena dari tugas belajar. Keempat, banyak siswa yang tak sadar manfaat belajar. Mungkin mereka berpikir “Masa muda cuma sekali, ngapain tak diisi kisah yang indah-indah?”
Namun, menyontek toh bukan murni kesalahan siswa, karena lingkungan sosial dan sekolah pun memang permisif. Mereka tahu, siapapun bisa menyontek, tinggal niat dan peluangnya.  Kalau sudah ada niat, peluang bisa disiasati, tinggal tunggu saat tepat saja.
Terlebih, tak banyak guru yang setelah memergoki siswa menyontek memberikan sanksi tegas. Jarang guru mendiskualifikasi siswa hanya gara-gara menyontek! Kebanyakan guru hanya tersenyum kecut, melotot, atau memberikan peringatan. Peringatan pun hanya gertak sambal, tak pernah serius. Ancaman guru sering tidak memberikan efek jera apapun.
Ironisnya,  kadang guru pengawas sengaja meninggalkan ruang ujian, untuk urusan lain-lain. Atau, sang pengawas menunaikan tugasnya sambil membaca koran, mengerjakan tugas lain, atau mengobrol dengan sesama pengawas—dengan suara cukup jelas terdengar dari bangku paling belakang. Atmosfir kelas jadi permisif bagi terjadinya ulah menyontek.
Tak mengherankan, ‘virus’ menyontek itu menular ke siswa lain yang semula tak berniat melakukannya. Terlebih jika dia mendapati nilai ujiannya lebih rendah daripada temannya yang menyontek. Dia bisa putus asa, untuk apa belajar, toh dengan menyontek pun, nilai bisa lebih baik. Tak ayal, suatu saat, jika ada peluang, dia akan ikut menyontek pula.
Yang lebih menyedihkan, seperti dilansir Jawa Pos seusai ujian nasional (UNAS) beberapa waktu lalu, ada pihak sekolah membolehkan siswanya saling membantu menyelesaikan ujian. Kadang pengawas mengisyaratkan clue jawaban. Ya, agar semua siswa lulus dengan nilai ujian murni (NUN) yang baik, agar sekolahnya tetap berpredikat 100% lulus. Aneh tapi nyata!
Dengan demikian, alangkah peliknya “penyakit” menyontek ini. Bak penyakit tumor, meyontek telah menjalar ke setiap bagian tubuh pendidikan kita dan (pelan tapi pasti) terus menggerogotinya. Ditilik dari sikap mental, sedemikian banyak carrier (pembawa penyakit) yang siap menularkan perilaku curang itu.
Maka, dari lubuk hati terdalam, penulis mengajak untuk memberantas menyontek hingga tuntas. Jika dibiarkan berlarut, preseden buruknya akan semakin parah. Efek lanjutnya, siswa akan menjadi manusia yang tak mandiri, culas, atau tega menilap orang lain alias berjiwa korup.
Mungkin agak berlebihan menghubungkan menyontek dengan korupsi. Tapi kita saksikan, korupsi dilakukan oleh pejabat bermental korup yang juga hasil pendidikan. Masyarakat, terlebih yang tinggal di pedesaan, tak akan membuta-tuli menilap uang negara.
Tingkat korupsi di negara-negara maju rendah antara lain karena pendidikan mereka tegas menghukum penyontek. Tingkat korupsi Singapura sangat rendah, juga karena pendidikannya tidak mentoleransi siswa menyontek. Konon, pejabat negara yang terbukti suka menyontek semasa sekolah/kuliah, bisa dipermasalahkan secara serius!
Sekarang, kita insan pendidikan harus merapatkan barisan memberantas budaya menyontek ini. Dari mana memulai? Yang mendasar-normatif: itikad baik untuk menyelamatkan nasib pendidikan kita, juga generasi bangsa. Dalam hal ini, tekad Dispendik, kepala sekolah, dan pengawas ujian di kabupaten Gresik meneken “komitmen jujur” untuk tak mengintervensi siswa saat unas (Jawa Pos, 26/1) patut diacungi jempol.
Kemudian, pihak (kepala) sekolah, didukung Komite Sekolah, perlu membuat kebijakan jelas. Sanksi tegas harus dibuat, dan disosialisasikan ke seluruh guru dan siswa. Orangtua siswa juga harus get informed dan legawa jika anaknya diputuskan mendapat sanksi terberat sekalipun.
Kebijakan ini suatu jaminan bagi guru dalam memberikan sanksi atau memproses siswanya yang ketahuan menyontek. Tanpa kebijakan, aturan main (rule of the game) terkait menyontek tidak definitif, dan semua kasus menyontek akan ‘dimaklumi’ atas nama rasa kemanusiaan. Dan jika demikian, pastilah terjadi kompromi tak sehat.
Setelah kebijakan payung itu kondusif, guru dapat mengambil strategi berikut ini: Pertama, jangan bosan membangun sikap mental mandiri dan kecerdasan emosi siswa. Untuk penyontek, lakukan terapi persuasif dan mencerdaskan secukupnya. 
Kedua, jika ujian akan digelar, guru bisa meminta siswa mengumpulkan buku, tas, catatan, ponsel, dan sebagainya ke depan kelas. Ketiga, guru harus memeriksa siswa satu persatu, termasuk bangku ujiannya, guna memastikan tidak ada bahan dan alat untuk berlaku curang.
Keempat, guru perlu mengacak tempat duduk ujian siswa dan mengatur jarak antar tempat duduk, agar mereka tidak berpeluang mengatur siasat sebelumnya. Kelima, guru harus mengawas ujian dengan sungguh-sungguh. Jika perlu, pasang wajah rada angker! Awasi setiap gerakan (bahasa tubuh) siswa, dan cepat lakukan tindakan tegas.
 Memang ada beragam strategi bisa diterapkan, sesuai situasi-kondisi sekolah dan karakteristik siswa. Namun, apapun strateginya, tujuannya sama, yakni membatasi atau meniadakan ruang gerak siswa untuk menyontek.
Sekarang, bola ada di tangan insan-insan pendidikan. Dengan memberantas budaya menyontek, kita akan mengobati ‘tumor akut’ pendidikan kita, dan membunuh peluang lulusan kita melakukan korupsi kelak di kemudian hari. Jika tidak sekarang, kapan lagi?**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar