Tutut Guntari
Tulisan Sani Swatan “Memotivasi Berbicara Bahasa Inggris” (JP, 1/1/08), yang menawarkan tips memotivasi siswa berbicara bahasa Inggris di sekolah, menarik untuk didialogkan. Dilihat dari pendekatan dan lingkup aplikasinya, tulisan tersebut sangat patut dikritisi.
Bagi Sani Tan, ada tiga tips utama memotivasi siswa berbicara bahasa Ingris di sekolah. Pertama, ajari anak kalimat-kalimat bertanya, memerintah, minta sesuatu, berterima kasih, dan segala kalimat yang terkait kebutuhan harian (daily needs). Kedua, ajarkan empat parts of speech (kata benda, sifat, kerja, keterangan) dan kosakata sejak SD. Ketiga, tekankan pengajaran kala-kala (tenses) yang paling sering dipakai dalam komunikasi sehari-hari.
Sepintas tips tersebut tepat pendekatan dan aplikatif untuk banyak sekolah. Namun, jika dicermati, ketiga tips itu sesungguhnya berpendekatan Audio-lingual, yang berasumsi: belajar bahasa (kedua/asing) hakikatnya hanya membentuk kebiasaan (habit formation) siswa, dengan repetisi dan latihan guna membentuk kebiasaannya terhadap bahasa sasaran, terutama ketrampilan menyimak dan wicara.
Secara rinci, bagi Sani Swatana, penguasaan struktur kalimat dan bentuk kata diutamakan, bukan makna/pemahaman. Unsur-unsur bahasa boleh tidak kontekstual dan integratif. Latihan (drill) diandalkan; kegiatan komunikasi muncul setelah proses panjang drill dan latihan tata-bahasa. Pemakaian bahasa Indonesia dihindari, penerjemahan diharamkan sejak dini. Bicara dulu, baru membaca dan menulis. Guru mengontrol ketat kegiatan siswa, guna melihat akurasinya. Motivasi intrinsik akan tumbuh dari minat terhadap sistem bahasa sasaran.
Penulis melihat, pendekatan audio-lingual yang pernah ngetren tahun 1980-an itu kini sudah kadaluwarsa (old-fashioned), tentu setelah dievaluasi serius. Dalam paradigma Larsen-Freeman (1986), pendekatan itu sudah jauh hari ditinggalkan sebelum berkembangnya Pendekatan Komunikatif—yang kemudian bermetamorfosis jadi Pendekatan Kebermaknaan (KBK). Yang terkini, pendekatan berbasis literasi (LBA), diimplementasikan dalam Genre-Based Approach (GBA), yang semarak untuk mendukung Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Nah, kan?
Memang sejak 2005 Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menetapkan Standar Isi bagi sekolah untuk mengelola pendidikannya, sekolah wajib mengembangkan KTSP sejalan dengan visi dan misinya. Jika Standar Isi dipenuhi, siswa akan mampu menguasai kompetensi-kompetensi tertentu, termasuk siap ikut ujian akhir nasional (UAN).
Terkait gagasan Sani Swatan, masalahnya, apakah KTSP sekolah bersangkutan mempeluangi porsi besar bagi praktik wicara bahasa Inggris? Jika KTSP itu demikian, pendekatan audio-lingual mungkin masih bisa digunakan. Ini pun harus dipertimbangkan bagaimana menyiapkan siswa menghadapi soal-soal UAN yang dijiwai pendekatan GBA. Bayangkan apa akibatnya jika KTSP sekolah itu hanya memberikan sedikit jam pelajaran bahasa Inggris?
Dus, dapat dikata bahwa skala aplikasi tawaran Sani Swatan agaknya terbatas pada sekolah yang memang mengedepankan kompetensi komunikasi sosial (oracy), dan menomorduakan kompetensi fungsi bahasa untuk belajar (literacy). Siswa bisa hebat menyimak dan wicara, tapi mungkin kedodoran membaca dan menulis. Jika dihadapkan dengan UAN (tentu menekankan literacy), alangkah beratnya siswa untuk keluar sebagai pemenang.
Dalam hal ini penulis, dengan mengacu KTSP yang dijiwai pendekatan LBA/GBA, menawarkan gagasan untuk mendorong optimalisasi proses pembelajaran, ditunjang penciptaan miliu bahasa yang kondusif.
Proses pembelajaran ditekankan pada kompetensi fungsi bahasa (literasi), guna memacu motivasi intrinsik siswa. Empat ketrampilan bahasa (reading, writing, listening, dan speaking) disajikan integratif. Guru harus mendorong siswa aktif dalam pembelajaran. Berbagai media, terutama realia kelas dan sekolah, perlu dioptimalkan. Siswa dianggap sebagai agen responsif, aktif, kreatif, dan reproduktif dalam belajar bahasa.
Meski LBA menekankan literasi (reading dan writing), kompetensi komunikasi sosial (orasi) siswa jangan diabaikan, justru disertakan di dalamnya. Contohnya, jika siswa diminta memahami/menulis sebuah teks recount personal, faktual, atau imajinatif, maka mereka diarahkan untuk menyampaikan secara lisan. Secara gradual, mereka akan mampu “berpidato” sederhana hingga kompleks—tentu sejalan waktu dan motivasi yang terus dipacu.
Tentu guru harus arif dalam mengoreksi kesalahan siswa. Jangan mengharamkan bahasa Indonesia, sebagaimana “doktrin” pendekatan audiolingual. Bahasa Indonesia, terlebih bagi siswa SMP/MTs, masih ditoleransi guna memperjelas makna. Motivasi intrinsik akan tumbuh dari minat terhadap apa yang dikomunikasikan (pemahaman, makna), bukan sistem bahasa yang digenjot dengan mimikri latihan terkendali.
Di samping itu, proses pembelajaran di kelas harus didukung penciptaan miliu (lingkungan) bahasa kondusif, guna membangun motivasi ekstrinsik siswa. Penciptaan miliu bahasa dimulai dari kebijakan (kepala) sekolah, dan diturunkan ke langkah implementasional.
Lazimnya kebijakan (kepala) sekolah inilah faktor determinannya. Mengacu pada KTSP yang dimiliki, miliu bahasa dapat direkayasa. Tengoklah PP Modern Gontor di Ponorogo (putra) dan di Ngawi (putri). Kebijakan bahasanya tegas, santri harus berkomunikasi dalam bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa lain dalam momen-momen yang digariskan. Dalam proses pembelajaran pun bahasa-bahasa itu digunakan secara taat, baik oleh ustadz-nya maupun santrinya. Dan kita tahu, alangkah cemerlangnya imej pondok tersebut.
Meski setiap sekolah memiliki daya dukung berbeda-beda, kebijakan PPM Gontor tersebut dapat diambil hikmahnya, tentu dengan penyesuaian sana-sini. Miliu bahasa harus mengikat para pelaku komunikasi sosial di sekolah, baik guru-guru, guru-siswa, siswa-siswa, maupun guru-siswa-petugas sekolah. Pimpinan sekolah wajib siap jadi teladan, terlebih guru-guru bahasa Inggris.
Dalam hal ini penulis setuju gagasan Sani Swatan tentang “English Day”—namun bisa ditingkatkan menjadi “English Week”. Dalam hari-hari ini, selain wajib berbahasa Inggris, siswa dilibatkan dalam berbagai diskusi (dengan topik aktual semisal Napza atau HIV), dan lomba-lomba bahasa Inggris (speech contest, reading contest, writing contest, poetry reading, play, games, debat, poster, dsb.). Hadiah menarik sebagai reward perlu diupayakan, bahkan bisa dicarikan pihak-pihak yang mensponsori.
Selain miliu personal tersebut, miliu impersonal dan sumber belajar layak dirintis dan dikembangkan. Setiap inventaris sekolah perlu dilabeli bahasa Inggris dan bahasa Indonesia—kantor, nama kelas, toilet, kantin, taman, perpustakaan, tempat parkir, koperasi sekolah, unit medis sekolah, konseling, dan sebagainya. Dalam pembuatannya, siswa sewajarnya dilibatkan, agar memiliki sense of belonging dan simbol pengingat akan kewajiban berbahasa Inggris.
Majalah dinding juga tidak mahal. Siswa didorong mengekspresikan gagasan, pengalaman, opini, cerpen, puisi, poster, atau karikatur dengan isu-isu terkini di sana, dengan iming-iming hadiah tertentu. Tugas-tugas siswa yang terbaik, termasuk hasil lomba, juga bisa dipampang. Singkatnya, kreasi siswa yang tak terbatas itu sumber pengisi mading.
Dan jika dana mendukung, sekolah perlu menyediakan media cetak berbahasa Inggris: koran, majalah, tabloid), rekaman acara-acara radio, TV, film, atau lagu-lagu barat. Sumber belajar tambahan semacam ini, selain memperluas wawasan, juga.memberikan imej luar biasa di benak siswa bahwa bahasa Inggris sangat penting, kini dan mendatang.
Sebagai tambahan, perlu disediakan polisi bahasa, entah guru bantu atau siswa senior. Selain sebagai teladan, polisi bahasa ini bertindak sebagai sahabat siswa dalam belajar bicara bahasa Inggris. PPM Gontor sukses menerapkan model polisi bahasa ini. Tentu saja semua itu ada harganya, dan kemauan besar-lah yang akan mampu membayarnya.
Penulis yakin, optimalisasi proses pembelajaran (guna membangun motivasi intrinsik) dan penciptaan miliu bahasa kondusif (guna memacu motivasi ekstrinsik) akan mempercepat penguasaan kompetensi literasi dan orasi siswa. Selain siap menghadapi UAN, siswa juga siap berkomunikasi sosial. Dan ini sebuah pekerjaan rumah tersendiri bagi sekolah yang hendak mewujudkannya.**
a smart and comprehensive response.
BalasHapus